15 Sep 2011

"Asesoris" Iman

ADA kejadian lucu sewaktu polisi meluruk ke “kandang” FPI di Tanah Abang, Jakarta. Entah karena polisinya kelewat tegang, atau ada faktor lain, mereka sempat “salah mata” dan menangkap seorang yang ternyata bukan anggota FPI. Penyebab salah tangkap itu ternyata sederhana, yaitu karena yang bersangkutan—ia mengaku hanya tukang semir sepatu—berjanggut ala anggota FPI umumnya.

Memang belakangan ini, janggut—ditambah baju koko, peci putih, dan sorban—oleh sebagian kelompok seperti dijadikan “asesori wajib” yang harus dikenakan kalau kepingin dianggap “sungguh muslim”. Mungkinkah ini hanya sebuah tren modis yang sifatnya temporer semata, memang masih harus ditunggu dan dibuktikan.

Yang berbahaya adalah kalau kemudian keberadaan asesoris itu dijadikan juga alat untuk mengukur tingkat kesalehan seseorang. Orang lalu terpaku pada apa yang kelihatan oleh mata lahiriah. Iman diukur dari apa yang dikenakan: jubah, peci, sorban, tasbih yang ditenteng ke sana-ke mari (mungkin juga jidat yang ‘kapalan’ karena seringnya bersujud?) bukan dari perilaku nyata sehari-hari yang bersangkutan.

Seorang mistikus katolik dari Spanyol, Santo Yohanes Salib, pernah juga menyinggung soal kegandrungan pada asesoris fisik ini. Menurut santo suci itu, asesoris yang dikenakan itu memang bukti adanya iman pada orang yang mengenakannya, tapi mohon maaf, yang dimaksud oleh sang santo adalah iman yang masih pada tingkatan awal, atau permulaan. Jadi kalau diumpamakan murid sekolah, ia baru siswa TK atau SD.

Sebaliknya iman yang tulen, yang sudah paten teruji, tidak lagi merisaukan (atau direpotkan) tampilan yang hanya fisikal sifatnya. Sebab memang, yang penting akhirnya “isi”nya, bukan kemasannya. Awas, kemasan bisa menipu, tidak “isi”nya.

9 Sep 2011

Film Indonesia dan Saya

Saya tak pernah tertarik menonton film Indonesia, sejak film-film seperti “Lewat Djam Malam” dan “Krisis” tidak pernah dibuat orang lagi, begitu suatu kali Goenawan Mohamad menulis. Ketika membacanya saya tertegun :  film macam apakah “Lewat Djam Malam” dan “Krisis” yang begitu dipujikan Goenawan itu? Rasa penasaran  semakin bertambah setelah saya membaca juga ulasan seorang kritikus film asal Jepang.  Sang kritikus menyebut film itu sebagai salah satu film terbaik dunia (!) yang pernah ditontonnya.

Kedua film itu adalah buah tangan dingin sineas besar kita, Usmar Ismail (alm). Saya merasa beruntung pernah menonton keduanya lewat sajian layar TVRI entah berapa tahun yang lalu—rasanya masa itu sudah lama sekali. Saya kurang begitu ingat film “Krisis”, tapi “Lewat Djam Malam” bagi saya sungguh sebuah film hebat. Film itu berkisah tentang kekecewaan “para pejuang” revolusi yang kembali dari medan perang  ke dalam kehidupan “damai” di kota. Tokoh utamanya diceritakan “gagal” berdaptasi dengan situasi kehidupan yang “normal” dan ia terlibat dalam sejumlah konflik, bahkan juga dengan bekas teman-temannya sesama “pejuang”.

Masa sewaktu film itu dibuat adalah masa-masa yang belum lagi jauh dari kalibut debu dan mesiu 1945. Situasi masih serba seadanya dan darurat. Tapi justru di tengah kondisi yang serba pas-pasan itu Usmar berhasil menelurkan sebuah “maha karya”—pujian yang tidaklah mengada-ada dan berlebihan—sebagaimana diutarakan oleh kritikus film asal Jepang yang disinggung di awal tulisan ini. Konflik dalam film itu tertuang dengan jernih dan kuat tanpa banyak polesan yang tidak perlu. Sungguh sebuah karya yang menggetarkan.

Sesudah menontonnya saya pun terpaksa bersetuju dengan Goenawan Mohamad.  Memang saya masih menyempatkan diri menonton sejumlah film nasional lain, dan ada sejumlah film yang cukup menarik, tapi pengalaman artistik yang menggetarkan, yang membuat saya mengalami “orgasme artistik”—seperti ketika menyaksikan “Lewat Djam Malam”—belum pernah lagi saya alami. Sineas-sineas yang dianggap “besar” dan  ”penting” pasca Usmar Ismail  (dari Teguh Karya sampai yang paling mutakhir generasi Riri Riza) menurut saya belum bisa membuat film sebagus itu lagi..

Mungkin yang “agak mendekati” kebesaran Usmar Ismail adalah Syumanjaya. Salah satu filmnya, “Yang Muda Yang Bercinta”, bagi saya sangat menarik dan cukup mampu membikin saya “ereksi” secara artistik . Tapi Syumanjaya (seperti Usmar Ismail), kita sama tahu, juga sudah lama tiada.

7 Sep 2011

Cangkir Penyair

Cangkir itu sebetulnya biasa saja, seperti cangkir-cangkir pada umumnya. Hanya ukurannya memang agak lebih besar dari cangkir biasa. Aku tak begitu paham mengapa ayah selalu menggunakan cangkir itu kalau mau menyeduh kopi, padahal ada beberapa cangkir lain. Ia melarang kami, anak-anaknya dan yang lainnya, menggunakan cangkir itu. Ini cangkir penyair, katanya beberapa kali mengulang pengumumannya. Yang bukan penyair tak minum dari cangkir ini, katanya pula, dengan nada bicara yang dibuat terdengar takzim.

Aku suka memperhatikan kalau ia sedang menyeduh kopi. Seingatku caranya juga biasa saja, tak ada ritualnya yang aneh-aneh. Ia menuangkan kopinya lebih dulu, satu atau dua sendok serbuk hitam itu dicampuri gula putih secukupnya, mengambil termos berisi air panas, menuangnya ke dalam cangkir keramat itu. Ia akan mengaduknya pelan-pelan, diam-diam, seperti sedang berdoa..Lalu ia akan membawa minuman itu ke kamarnya. Ia akan duduk nyantai selonjor di depan televisi, seraya pelan-pelan menyeruput kopinya, juga pelan-pelan, seperti tengah berpikir-pikir, atau apa begitu  Entahlah. Yang pasti  tampaknya sublim sekali segala perilakunya itu.

Kadang ia suka nyelutuk sendiri, enak racun ini. Atau, kalau sudah minum racun ini baru penyair bisa menulis. Memang kadang aku pergoki, sesudah selesai dengan ritual minum kopinya ayah mengambil buku notes yang suka dibawa-bawanya, lantas menulis-nulis sesuatu di sana. Kadang cukup lama ia melakukan itu, mencoret ini, mencoret yang lain, membolak-balik halaman baru notes itu. Kadang ia pindah duduk ke kursi di teras atas rumah kami yang sempit. Di situ memang lebih tenang suasananya. Ia lalu tampak seperti karam dalam kesuntukannya menulis itu.

Ia tak pernah memperlihatkan apa yang barusan ditulisnya. Aku pun tak begitu berminat untuk mengintipnya. Tulisan-tulisan di buku notes itu lebih berupa corat-coret yang hanya bisa dipahaminya sendiri, bahkan kadang ia pernah kudemgar mengomel tak bisa membaca apa yang sudah ditulisnya di sana. Lucu sekali melihatnya uring-uringan mencari sambungan yang terputus dalam catatan yang sudah ditulisnya.

2 Sep 2011

Bali, Kartu Pos Bergambar


(Inilah Bali
       Tempat Wayan
Lahir suatu hari
Dan menemu surya
Di lubuk samudra)

Hari ini kusalami
     Tanahmu yang liat
Kisahmu yang sarat
Ceraplah         
        Selaku sesembahan
Pelancong dari utara
Kuharap sepadan
Selayak tamu

Pada lekuk-liku sajak
Lama kuselami
       Gunung dan lautmu
Kurasa tapi
Baru sesudah
Genap langkahku
Menempuh Uluwatu
Kupahami akhirnya
Bahasa rindu

(Ya, inilah Bali
       Tempat Wayan
Mangkat suatu hari
Pulang mencapai moksa
Di batas lakon)

21 Agu 2011

Ular Gunung


Ada yang menamakan kami
Naga Lima Langkah
Sebab demikian pintar kami
                                  Meracik bisa
Seakan iblis sendiri
Menanamkannya pada
                      Taring waktu

Kemudian kami pun
Menunggu
                 Sabar dan tak terburu
Sampai hewan atau kalian tersekap
         Dalam ini perangkap
Sempurna kami tebar
Supaya kami sisakan kemudian
                               Lima tindak
Untuk kalian melangkah
Sebelum rebah juga akhirnya
                             Dekat pagar belakang

Kuulangi, jadi itulah
Mengapa
                Mereka sebut kami
Naga Lima Langkah

Semua itu taklah mengejutkan
Bisa kau temukan pada
Lembar resmi ensiklopedia
Persis pada halaman
Bab reptilia darat
                      Yang luput
              Tercatat di sana
Kami juga hidup aman
Melingkar samar
Dalam gelap belukar
Sanubari manusia
Seraya 
           Menebar ini bisa
           Merata pada
Garis silsilah kalian:
Para mahkluk jumawa
Turunan dewata?