9 Sep 2011

Film Indonesia dan Saya

Saya tak pernah tertarik menonton film Indonesia, sejak film-film seperti “Lewat Djam Malam” dan “Krisis” tidak pernah dibuat orang lagi, begitu suatu kali Goenawan Mohamad menulis. Ketika membacanya saya tertegun :  film macam apakah “Lewat Djam Malam” dan “Krisis” yang begitu dipujikan Goenawan itu? Rasa penasaran  semakin bertambah setelah saya membaca juga ulasan seorang kritikus film asal Jepang.  Sang kritikus menyebut film itu sebagai salah satu film terbaik dunia (!) yang pernah ditontonnya.

Kedua film itu adalah buah tangan dingin sineas besar kita, Usmar Ismail (alm). Saya merasa beruntung pernah menonton keduanya lewat sajian layar TVRI entah berapa tahun yang lalu—rasanya masa itu sudah lama sekali. Saya kurang begitu ingat film “Krisis”, tapi “Lewat Djam Malam” bagi saya sungguh sebuah film hebat. Film itu berkisah tentang kekecewaan “para pejuang” revolusi yang kembali dari medan perang  ke dalam kehidupan “damai” di kota. Tokoh utamanya diceritakan “gagal” berdaptasi dengan situasi kehidupan yang “normal” dan ia terlibat dalam sejumlah konflik, bahkan juga dengan bekas teman-temannya sesama “pejuang”.

Masa sewaktu film itu dibuat adalah masa-masa yang belum lagi jauh dari kalibut debu dan mesiu 1945. Situasi masih serba seadanya dan darurat. Tapi justru di tengah kondisi yang serba pas-pasan itu Usmar berhasil menelurkan sebuah “maha karya”—pujian yang tidaklah mengada-ada dan berlebihan—sebagaimana diutarakan oleh kritikus film asal Jepang yang disinggung di awal tulisan ini. Konflik dalam film itu tertuang dengan jernih dan kuat tanpa banyak polesan yang tidak perlu. Sungguh sebuah karya yang menggetarkan.

Sesudah menontonnya saya pun terpaksa bersetuju dengan Goenawan Mohamad.  Memang saya masih menyempatkan diri menonton sejumlah film nasional lain, dan ada sejumlah film yang cukup menarik, tapi pengalaman artistik yang menggetarkan, yang membuat saya mengalami “orgasme artistik”—seperti ketika menyaksikan “Lewat Djam Malam”—belum pernah lagi saya alami. Sineas-sineas yang dianggap “besar” dan  ”penting” pasca Usmar Ismail  (dari Teguh Karya sampai yang paling mutakhir generasi Riri Riza) menurut saya belum bisa membuat film sebagus itu lagi..

Mungkin yang “agak mendekati” kebesaran Usmar Ismail adalah Syumanjaya. Salah satu filmnya, “Yang Muda Yang Bercinta”, bagi saya sangat menarik dan cukup mampu membikin saya “ereksi” secara artistik . Tapi Syumanjaya (seperti Usmar Ismail), kita sama tahu, juga sudah lama tiada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar