30 Mei 2011

Tentang Menulis Sajak

Dalam sajakku
Rima hampir kuanggap
Kejahatan, begitu
Pernah kubaca
Sesumbar si urakan
Bertolt Brecht
Penyair Jerman
Lama mukim tapi
Di Los Angeles
Sedang soal paham politiknya
Setahuku ia teramat Kiri

Lain lagi petuah
Taufiq Gafar Ismail
Penyair dokter hewan
Di Bogor sekolahnya pernah
Tentang menulis sajak sonder rima
Katanya, samalah itu dengan bermain 
Tenis tanpa tali net pembatas
Di mana seru-asyiknya?

Adapun bagiku sendiri
Si penyair payah
(Rendah saja sekolahnya)
Menulis sajak macam
Bermain sepakbola kuanggap

Tak penting benar
Gaya apa musti kupakai:
Total Footbal asli Belanda
Tari gila Samba Brasilia
Grendel Mati Italia

Atau bagaimana bakal
Kurancang komposisi barisnya:
Empat tiga tiga acak
Atau empat empat dua
Rapi
        Berjajar
        Ke bawah

Tak soal sepanjang
Bisa kusarangkan mantap
Si bulat maha kata
Ke dalam itu sempit
Jejaring gawang
Sang takdir

27 Mei 2011

Di Warung Sate Cak Dar

Saya memesan sepuluh tusuk sepi
Disertai pesan wanti-wanti, jangan dicampur
Dengan yang bukan sepi, dan satu pesan penting
Lagi, bakarlah yang matang, kata saya

Bakar yang matang, jangan setengah-setengah
Biar masak sepinya, sampai mengaduh sakitnya
Sampai gosong lukanya, sedap sungguh nanti terkecap
Di ujung lidah, di antara pedas sambal waktu

2009-2010

26 Mei 2011

In Memoriam: "Celana"

Penyair Joko Pinurbo--akrab dengan sapaan Jokpin—menyampaikan niatnya untuk mencopot “celana” yang selama ini sudah menjadi “merek dagangnya”. Antologi puisi Kepada Cium (Penerbit:  Gramedia, 2008) disebutnya sebagai edisi pamungkas dari episode “celana” itu.

Bagi saya ini sebuah kabar “besar” sekaligus menggembirakan. Dalam sebuah catatan   saya memberi garis bawah khusus perihal perlunya Jokpin keluar dari “zona amannya” guna menjelajah dan menemukan zona kreatif baru. Kalau tidak cepat atau lambat ia hanya akan tinggal kenangan.

Celana dan Jokpin memang sebuah fenomena menarik. Imaji “celana” di satu sisi dan nama Jokpin di pihak lain seperti tak bisa dipisahkan. Seperti imaji “hujan” serta merta mengingatkan kita pada penyair Sapardi Djoko Damono, atau “kapak” membawa kita pada sosok Sutardji Calzoum Bachri, begitulah halnya “celana” dan Jokpin.

Jokpin sudah  berhasil mengangkat pamor “celana”, dari sebuah substansi yang fisikal dan remeh menjadi substansi lain yang rohaniah dan malahan sering juga filosofis. Sebaliknya “celana” telah pula mengganjar Jokpin dengan banyak penghargaan sastra bergengsi : SIH Award, KLA, untuk sekedar menyebut contoh. Sebuah kisah kasih yang indah.

Tapi untuk kepentingan yang lebih besar, kisah indah itu musti diakhiri sekarang. Siapa tahu dengan menanggalkan “celana” Jokpin malah akan membawa kita ke alamat-alamat baru, addres-addres rahasia yang lebih heboh lagi. Bagi Jokpin memang hanya tersedia 2 pilihan itu : tinggal tentram dalam “celana”—seraya mungkin mati pelan-pelan—atau mencopot itu “celana”, dan “tanpa celana” menempuh segala resiko yang menanti. Ah, celana …

25 Mei 2011

Saya Hanya Sebuah Kursi Plastik

Saya hanya sebuah kursi plastik
Di ini kantin teramat bersahaja
Sebentar dipindah saya ke pojok
Sekejap digeser pula saya ke belakang

Saya hanya sebuah kursi plastik
Hak apa saya punya guna menggugat
Keberadaan saya remeh tak berarti
Ganti berganti orang datang menduduki

Yang satu ini datang saban siang
Ia tak hendak apa, hanya natap duka
Piring makannya melulu hampa
Campuran kuah waktu dan butir hujan

Banyak lainnya kukenal hanya rupa
Sisanya pendatang baru sepertinya
Duduk di ruang ini untuk sebentar
Ada yang diam alim lainnya kasar terburu

Banyaklah bisa kutonton di sini
Serba kejadian dan cerita meminjam
Ini tempat sebagai latar lakonnya
Tema apa bisalah kuterka sembarang

Tapi saya hanya sebuah kursi
Sebuah kursi plastik di kantin ini
Hak tak ada pada saya sekadar bertanya
Ini kejadian edan ada-ada saja

2010-2011

24 Mei 2011

Kursi Kapel

Aku numpang duduk, kursi
Aku ke sini bukan mau berdoa
Maaf, kursi, aku sedang bosan
Ijinkan aku di sini untuk sebentar
Ijinkan mataku yang jemu
Mengintip mungkin sesuatu
Mungkin perempuan di sebelah
Bisakah ia menatapkan tak curiga begitu--
Mungkin sebab aku betul mirip bajingan
Atau pacar gelap yang rajin menidurinya
Memberinya kenikmatan semu itu?
Ah, sudahlah, ini sebuah kapel
Tidak bisakah aku berpikir
Sedikit lebih beradab?
Ya, ya lelaki pandir
Yang sok berlagak mahir
Bermain-main dengan tafsir
Padahal waktu terus juga bergulir
Dan di sini aku berjanji sekadar hadir
Manis dan sopan mendengarkan
Kabar dari sorga disampaikan
Lewat bahasa yang mengapa
Terasa padaku sedikit memaksa
Dengan kosa-kata yang tidak bisakah
Disusun sedikit lebih seksama
Supaya sampai pada sahaya
Sebagai tawaran sungguh
Bernuansa penuh harga?
Ah, tapi bukankah aku sudah
Berjanji numpang duduk hanya
Untuk sebentar di ini ruang ibadah
Mungkin selaku tamu tanpa
Keberatan apa pun kecuali
Itu lelaki gondrong berjubah 
Putih dengan misainya menjuntai
Mengapa ia padaku terus jua
Lekat menatap tak putus?

2010-2011

23 Mei 2011

Anatomi Rumah

Ini ruang tamunya, tempat luka
Datang dan pergi. Sebelahnya
Ruang makan dan kamar anak-anak
Riuh rendah. Menatap teras terbayang

Hidup yang keras. Di loteng
Atas masih ada ruang lega
Buat berdua. Mau tapa atau
Sanggama merdeka. Paling pas tapi

Malam buta. Lantas dapur masih
Mengepul. Kamar penyimpan
Kitab, risalah ilmu dan ahlak
Rapi bersusun dalam rak. Persis

Di bawah tangga, gudang
Suram mendekam. Koran bekas
Kisah-kisah usang, masih sayang
Dibuang. Di pojok yang tak kentara

Mengintip kamar mandi  Di sinilah
Hidup disucikan, dosa dicuci serupa
Daki. Atau sebagai busuk tahi
Dibenam dalam jamban

2005-2011

20 Mei 2011

Seumpama Sajak

Seumpama sajak
Ia mungkin seperti kwatrin:
Ringkas dan bijak
Memendam ingin

Bermain dengan rima
Empat baris ke bawah
Sebelum menyudahinya gelisah
Dengan serupa tanda

Kau mungkin luput membacanya
Sebab teramat padat
Rahasia disimpannya rapat
Empat baris sebelum jeda

19 Mei 2011

Pada Suatu Hari Pemilihan Umum

Ia tak menemukan kesulitan samasekali
Menentukan siapa pemimpin yang harus dipilihnya
Ia sudah punya perhitungan dan alasan sendiri

Begitulah, dengan tenang dan penuh keyakinan
Ia mencontreng calon yang paling sepi, calon yang
Tak bernomor dan tak ada gambarnya di lembar pemilih

Juli 2009

18 Mei 2011

Sajak Mei

Sisa-sisa
Kepulan asapmu
Belum juga sirna, Mei

Kadang-kadang
Kobaran apinya
Membesar kembali

Menerangi borok
Dan ingatan
Yang saparoh rusak

Membangunkan
Lagi serdadu
Dan kawanan hantu

Dari dalam
Gedung-gedung
Gosong yang dijarah

Dari balik
Kelangkang basah
Sejarah yang diperkosa

Sisa-sisa
Kepulan asapmu, Mei
Belum usai juga

16 Mei 2011

Rendra, Atau yang "Berjihad" Lewat Kata

Aku mendengar suara
Jerit hewan terluka
Ada orang memanah rembulan
Ada burung kecil jatuh dari sarangnya

Orang-orang harus dibangunkan
Kesaksian harus diberikan
Agar kehidupan tetap terjaga

(Rendra, “Aku Mendengar Suara”)

Abubakar Baa’syir pernah berkoar bahwa “jihad” itu ada 3 macam. Pertama, jihad dengan senjata (hanya dibolehkan dalam kondisi konflik atau perang, katanya), kedua, jihad lewat dakwah, dan ketiga, jihad lewat harta. Mungkin masih bisa ditambah satu lagi, yaitu jihad lewat seni—atau ia mungkin bisa dianggap sebagai varian atau cabang dari “jihad lewat dakwah”? Untuk gampangnya, mari anggap sajalah begitu.

Dan bicara “jihad lewat seni” mungkin salah satu contoh terbaiknya bisa ditoleh pada sosok Rendra. Seluruh kiprah kesenian Rendra—tapi catatan ini membatasi diri pada seni puisi Rendra--adalah representasi dari pilihan jalan “seni untuk jihad” itu. Sudah sejak kumpulan sajak pertamanya, Balada Orang-orang Tercinta--yang ditulisnya pada masa-masa pubernya--penyair ini terusik untuk “selalu berjuang” membela mereka yang “tertindas”, mereka yang menjadi korban dari hidup yang “dikuasai para cukong”.

Tren “perjuangan” atau “jihad” itu terus berkelanjutan pada puisi-puisinya yang kemudian. Bahkan ketika ia menuliskan sajak-sajak dengan tema cinta pun, kita masih saja mendengar gugatan-gugatan kemarahan itu. Baca misalnya sajaknya “Joki Tobing untuk Widuri”.

Puncak penjelajahan “estetika jihad” Rendra berkulminasi pada sajak-sajak yang kemudian dikumpulkannya dalam buku Potret Pembangunan dalam Puisi--sebuah judul “tak lazim” dalam khazanah puisi kita, bukan?. (Sebetulnya masih ada sejumlah sajak lain pasca periode itu yang bersemangat sama, tapi secara kualitatif mutu sastranya berada di bawah periode “Pembangunan”).

Kemudian muncul perdebatan “sengit” di seputar nilai puitik dari sajak-sajak “perjuangan” itu Pihak yang skeptis menyebut sajak-sajak Rendra dari periode itu sebagai timbunan slogan belaka. Ada juga yang menyebutnya “sajak-sajak permukaan”, ah bahkan “sajak-sajak permulaan”. Penilaian paling moderat menyebut sajak-sajak itu berada di “perbatasan” antara “puisi dan slogan”. Omong kasarnya, sajak-sajak itu pas-pasan saja mutunya. Benarkah?

Adalah Prof Teeuw yang punya pembelaan bagus untuk pilihan estetika yang diusung Rendra. Ia menyebut, kurang lebih, untuk memotret masalah sosial tidak ada cara lebih baik kecuali dengan menampilkan kenyataan sosial itu sendiri apa adanya, dengan membiarkan kenyataan itu berbicara sendiri—tanpa polesan artistik berlebihan. Dan pilihan “cerdik” itulah yang dengan konsisten dan sadar sudah diambil Rendra.

Tapi masalahnya, bukankah terletak pada capaian hasil yang kemudian didapat? Gagasan atau kredo ajaib apa pun yang disembunyikan di balik proses penciptaan itu sendiri, bisa saja jadi tidak penting atau relevan lagi. Betul juga. Hanya saja, setelah berpuluh tahun lewat, dan sesudah sang “mujahid” kita mangkat pula, masih bernafsukah kita menarik ulang perdebatan “nyinyir” itu? Demi apa, seberapa perlu?

12 Mei 2011

Ags Arya Dipayana, “Juru Masak” yang Pergi

Ags Arya Dipayana tak saya kenal secara pribadi, tapi toh saya merasa mengenalnya “dekat” karena sejumlah puisinya. Terus terang saya sangat menyukai sajak-sajaknya dari periode belakangan yang banyak mengambil bahan dari dunia kuliner. Bagi saya puisi-puisi kulinernya itu bisalah dianggap terobosan yang berharga bagi khazanah puisi kita yang memang selama ini cenderung agak “seragam” dalam pilihan tema.

Saking kesengsemnya saya sampai tergerak menulis sebuah sajak tentang itu uintuknya. Sajak yang saya juduli “Sajak Juru Masak” itu dimuat Kompas beberapa pekan lalu. Sajak itu secara khusus pernah saya kirimkan pula kepada Ags Arya Dipayana lewat akun Facebooknya. Ia, ketika itu, mengomentari puisi ini sebagai “puisi sederhana yang bagus”, atau semacam itulah. Saya menduga bisa saja ia hanya sekedar berbasa-basi untuk membesarkan hati saya.

Jika terkaan itu benar, berarti ia memang seorang kawan yang baik, seorang yang rendah hati dan teramat peduli menjaga perasaan orang lain. Sayang, kawan sebaik itu telah mendahului kita kelewat lekas. Ags Arya Dipayana, penulis dan pegiat teater itu, meninggal dunia pada 1 Maret 2011, di Purwakarta, sekitar pukul 11 malam hari itu.

Saya ingin menerbitkan ulang “Sajak Juru Masak” sebagai semacam tanda kenangan saya kepadanya. Kebetulan edisi yang dimuat Kompas beberapa waktu lalu mengandung salah cetak, atau lebih tepat, salah letak. Sedangkan yang pernah diterbitkan lewat Facebook adalah edisi yang belum direvisi. Entah apa komentarnya tentang edisi yang telah direvisi ini. Saya tak sempat lagi menanyakannya.


Sajak Juru Masak

: Ags. Arya Dipayana

Ia tunjukkan bagaimana
Juru masak bijak bekerja
Dengan bahan seadanya tersedia di dapur
Sejumlah bumbu yang didapat dari penjual sayur
Yang kebetulan saja lewat

Ia buktikan tak ada
Yang samasekali kebetulan
Bumbu dan bahan diracik cermat
Agar tercipta rasa yang padu. Lezat
Atau nikmat di ujung kata
Bukanlah soal untung-untungan

Tapi ia tunjukkan juga
Campuran yang seksama
Dalam kari waktu yang telah mendidih
Dengan karut-marut rindu dendam
Yang telah cukup pula masam perihnya
Tak selamanya menghantar pada rasa yang dituju

Kadangkala bumbu dan bahan
Berselisih wajan atau takaran
Seperti nasib dan waktu
Merdeka menukar jalan dan kisahnya

Ah ya, ia ingatkan pula bahwa
Memang ada hal ihwal yang boleh saja
Ditambahkan atau dikurangi
Demi tercapai campuran yang pas. Utuh
Atau selaras dalam ungkapan
Memanglah juga soal permainan

2010

11 Mei 2011

Gus tf Menakar "Hantu Kata"

Gus tf Sakai, salah seorang juri Khatulistiwa Literary Award (KLA) tahun ini (2010), menjagokan Hantu Kata (Kiblat Buku Utama, Bandung) sebagai buku puisi yang “sangat layak” masuk dalam shortlist KLA 2010.

Di bawah ini adalah penilaian tertulisnya yang disampaikannya kepada Panitia penghadiahan sastra lokal yang—sejauh ini—berhadiah duit termahal itu:

Inilah buku puisi yang, dalam sejarah kesusateraan Indonesia, bakal menempati posisi unik, karena paling banyak membicarakan dirinya, yakni puisi itu sendiri. Bukan hanya puisi sebagai salah satu bentuk ekspresi (dengan media kata-kata) yang figuratif, bersimbol, dan karenanya selalu ambigu, tetapi juga pada kenyataan betapa gentingnya apa yang disebut komunikasi. Dan kegentingan ini, secara ajek, dan konsisten, juga menjadi tubuh puisi-puisi lain pada bagian kedua buku ini, bahwa dunia, seperti halnya komunikasi, adalah kesiapan untuk tak mendapatkan apa-apa, menemukan kosong, hampa, sia-sia.

Tapi, sebagaimana kemudian kita tahu, buku itu tidak termasuk dalam daftar 5 besar yang diumumkan Panitia. Dalam emailnya kepada saya, Gus tf mengaku “tak bisa percaya” empat juri lain (Afrizal Malna, Donny Gahral Adian, Eka Kurniawan, Ronny Agustinus) tidak memasukkan Hantu Kata dalam pilihan mereka.

Baca juga: Wawancara dengan Nirwan Dewanto

10 Mei 2011

"Hantu Kata", Kumpulan Puisi Ook Nugroho

Tak begitu mudah perjalanan yang musti ditempuh Hantu Kata guna merebut “hak” atas hari kelahirannya. Tapi kita tahu itu adalah hal yang biasa dialami hampir semua buku puisi di negeri ini, bukan? Dimusuhi penerbit, sepertinya, adalah bagian dari “takdir” yang musti dijalani puisi Indonesia. Jadi pengalaman Hantu Kata memang tidak luar biasa.

Pada awalnya kitab ini direncanakan berjudul Kotak Waktu, berisi 100 puisi, hasil seleksi dari periode penulisan 1980 sampai 2007. Sejumlah penerbit yang saya tawari menolak naskah ini. Mulanya, tentu saja saya “marah” pada penolakan beruntun itu. Lalu saya pun ngambek. Naskah itu saya “telantarkan” begitu saja, sampai setahun lebih.

Baru pada 2009 saya mulai menyentuhnya lagi, menyeleksi ulang materi Kotak Waktu. Banyak puisi yang kemudian saya coret, dan banyak juga puisi baru yang masuk menggantikan. Akhirnya terkumpul 89 puisi, dan judul naskahnya saya ganti menjadi Lelaki Kopi Puisi.

Naskah hasil revisi ini saya cobakan lagi ke penerbit, namun tetap tak ada yang menggubris. Hanya ada sebuah penerbit di Yogya menawari kerja sama:  mereka bersedia menerbitkan naskah itu dan menangani pemasaran bukunya tapi biaya produksi menjadi tanggungan saya. Biayanya sebetulnya tak mahal-mahal amat, tapi saya teramat “miskinnya” sehingga tawaran kerja sama itu pun terpaksa saya tampik.

Dalam keadaan seperti itulah saya teringat seorang konco lama, Soni Farid Maulana. Ia menyarankan saya mengirimkan naskah buku itu ke Ready Susanto. Beliau adalah redaktur penerbit Kiblat Buku Utama di Bandung, yang salah satu pemiliknya adalah sastawan kondang Ayip Rosidi.

Nasehat itu saya turuti, dan begitulah naskah itu akhirnya memang disetujui mereka untuk diterbitkan pada 2010. Puisi “Hantu Kata”, yang kemudian menjadi judul buku, baru masuk pada saat-saat akhir.

9 Mei 2011

Teroris "Islam", Siapa Pendukungnya?

Mengapa terorisme dengan bendera “Islam” di negeri ini susah ditumpas? Jawabannya, menurut saya sungguh sederhana: karena (ternyata) banyak yang diam-diam mendukungnya. Yang terlihat di permukaan memang  hanya ada sekelompok kecil umat Islam yang terang-terangan petantang-petenteng show of force, sebutlah kelompok “preman berjubah” yang dengan gagah berani menamakan diri Front Pembela Islam, atau kelompok pengacara yang juga dengan gagah perkasa menyebut diri Tim Pembela Muslim.

Ada pula lembaga seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang salah satu kesukaannya adalah menerbitkan “fatwa-fatwa aneh” yang tidak membantu membuat umat Islam di sini menjadi lebih “pinter” dan bersikap demokratis..

Sementara itu di bawah permukaan—sesungguhnya, kita bisa merasakannya--dukungan terselubung kepada kelompok penjahat berlabel agama ini tidaklah sedikit. Dukungan mereka, misalnya, terlihat dalam bentuk kesediaan mereka memberikan tempat ngumpet kepada teroris, atau dengan cara bersikap pura-pura tidak tahu keberadaan mereka. Cara-cara yang memang sederhana tapi efektif.

Lihat juga bagaimana emosionalnya respons yang diberikan sebagian umat Islam di sini sewaktu para penjahat seperti Imam Samudra cs dieksekusi mati. Mereka dengan terang-terangan (atau diam-diam) rupanya menganggap bajingan-bajingan itu sebagai martir agung, para “syuhada”, yang kematiannya pantas diratapi, bahkan kalau perlu dikeramatkan sekalian.

Ulil Abshar Abdalla, tokoh Islam Liberal lewat akun twiternya pernah bilang bahwa muslim yang gemar berperilaku “serem” seperti itu sebetulnya hanya “secuil” di negeri ini. Betulkah begitu? Terus terang saya mulai meragukan pendapatnya. Yang berani terang-terangan “tampil serem” memang secuil, tapi dukungan masif kepada perilaku yang “serem-serem” itu, saya yakin, tidak kecil, tidak hanya secuil. Saya kuatir malah banyak sekali.

(Saya ingin memberikan sebuah ilustrasi kecil sebagai penutup tulisan ini. Sewaktu gedung jangkung kembar WTC  rontok pada 11 September 10 tahun silam, seluruh pegawai di salah satu ruangan di gedung di mana saya bekerja secara sponton memberi aplaus berupa tepuk tangan riuh atas keberhasilan serangan para teroris itu. Mereka menonton peristiwa heboh itu lewat siaran televisi di ruangan mereka. Mereka, sebagian saya kenal dekat, adalah rekan-rekan muslim yang sehari-harinya selalu berperilaku alim, santun, dan taat pula ibadat shalat serta puasanya).

6 Mei 2011

Wawancara dengan Nirwan Dewanto (5-Selesai)

Sastra yang Normal

Pada banyak kesempatan anda kerap megingatkan perlunya kita berguru pada khazanah sastra dunia. Begitu burukkah pencapaian sastra kita? Dan menurut anda bagaimana kondisi perpuisian kita saat ini?

Sastra dunia bukanlah kumpulan karya sastra dari seluruh dunia, apalagi karya sastra dari luar negeri. Jika itu yang dinamakan sastra dunia, sudah pasti kita tak mampu mengenalnya, apalagi memanfaatkannya. Sastra dunia itu sebuah perspektif, yang bisa menerangi masalah kesastraan kita sendiri. Seperti halnya kita tak bisa melihat ekonomi nasional tanpa perspektif global. Buat saya, sastra dunia punya arti praktis. Pertama, kita, setiap penulis, memperhubungkan sejumlah karya yang melintasi batas kampung-kampung dan negeri-negeri, sesuai dengan kebutuhan sendiri, untuk memelihara sumber-sumber kreativitas. Kita memilih model-model yang paling masuk akal bagi mekarnya kreativitas kita sendiri. (Saya ingatkan sekali lagi, sastra dunia ini juga melingkupi sastra-sastra dari kampung sendiri atau kampung tetangga, tapi yang sudah dilihat lagi dengan
perspektif baru, perspektif global.) Kedua, dunia itu mengikis megalomania kita; artinya, jika kita berkarya, kita berpotensi sekadar menambahkan setitik debu polusi ke lautan karya cemerlang yang sudah dibuat manusia sepanjang sejarah. Jadi, perspektif dunia itu memberi kita kemampuan kritik-diri, sehingga kita tidak gampang terperangkap ke dalam model-model yang tidak hidup. Ketiga, kita menegakkan profesi di dunia modern. Semua profesi di dunia ini, sejak ilmuwan hingga juru masak, mengukur dan mengembangkan diri dengan standar disiplin transnasional. Kenapa kaum sastrawan harus mengistimewakan diri dengan ukuran yang ditetapkan di negerinya sendiri, sementara mereka sudah pula mengarungi internet? Keempat, bahasa, kesenian dan sastra-sastra kita mencapai bentuk terbaiknya ketika membuka diri terhadap arus-arus dunia, sebagaimana sudah terbukti dalam sejarah. Kenapa kita sekarang melihat sastra dunia sebagai ancaman terhadap sastra nasional?

Jadi, saya tidak mengatakan bahwa kita “perlu berguru kepada sastra dunia”. Sastra dunia itu sudah berada dalam diri kita. Mengingkarinya hanya akan mempertebal kemikiskinan dan keremajaan kita sendiri. Maaf, saya tidak menjawab dua pertanyaan anda yang lain. Atau sudah saya jawab dalam kesempatan sebelumnya. Sesungguhnya saya lelah berkomentar terhadap situasi kesastraan kita. Saya harus membuat pernyataan dalam bentuk lain. Pernyataan yang paling kongkret. Yaitu, Jantung Lebah Ratu

Ajang award sastra dengan hadiah besar, apakah efektif untuk memancing munculnya karya-karya besar?

Hadiah sastra (yang saya sempitkan di sini sebagai penghargaan untuk buku atau karya yang sudah terbit, bukan sayembara penulisan) sangat penting untuk menghargai dan menegakkan profesi sastra dan memeliharanya sebagai sumber kreativitas sosial. Di negeri-negeri yang normal kehidupan sastranya (sebutlah wilayah Asia saja—Korea Selatan, Cina Daratan, Jepang, India, misalnya), begitu banyak hadiah sastra yang bersungguh-sungguh, yang dijalankan oleh juri yang serius menilai. Menilai itu, bagi juri, tidak lain ketimbang mencari putusan terbaik, berkumpul, bertengkar, mempertanggung-jawabkan pilihan dan argumen masing-masing. Lalu, masing-masing penghadiahan itu juga bersaing satu sama lain, berebut tempat mana yang paling bergengsi dan berpengaruh. Sayang di negeri kita hal itu belum ada; yang ada hanyalah penghadiahan yang berpretensi “populis” atau “demokratis”; yang kita lihat hanyalah penjurian yang seperti tebak lotere, karena yang telanjur bernama juri itu tidak berkumpul, atau berkumpul sekadarnya, dan tidak beradu argumen. Hasilnya, yang menang bisa apa saja dan siapa saja. Jadi, tolonglah, jangan gunakan hiperbol seperti “karya-karya besar”.

Kita hanya perlu menegakkan kehidupan sastra yang normal-normal saja, yang sehat. Penghadiahan yang sudah ada perlu diperbaiki penjuriannya, namun lebih perlu lagi pengadaan aneka penghadiahan lain yang lebih rasional, lebih profesional. Anda jangan lupa, penghadiahan bagi kekaryaan profesi ini terjadi dalam bidang manapun di dunia modern ini—keilmuan, kesenian, keteknikan, dan seterusnya.

Terakhir, tidak tertarik bikin blog?

Saya perlu menyiarkan pendapat saya yang lebih spontan, yang sangat terikat kepada situasi, seperti wawancara ini misalnya. Saya juga perlu menuliskan penggalan riwayat saya, misalnya masa kanak saya, tamasya saya, aneka peristiwa kecil yang menggugah saya. Mungkin juga saya perlu menyiarkan sebagian karya yang tengah saya garap, work in progress, yang memerlukan semacam umpan balik dari lingkaran pembaca ideal saya. Semua itu tidaklah mungkin dimuat di media massa atau jurnal sastra manapun. Singkatnya, saya perlu membuat blog atau website sendiri. Mudah-mudahan terlaksana dalam waktu dekat.

Terakhir, Bung: rangkaian jawaban saya terhadap sejumlah pertanyaan anda sekarang barulah sebagian kecil dari apa yang bisa saya utarakan tentang puisi saya dan perpuisian pada umumnya. Tentu saya kepingin menuliskan apa-apa yang belum terkatakan itu, selangkah demi selangkah. Ah, jangan-jangan kalau saya bicara lebih banyak, orang akan membaca puisi saya melalui pernyataan saya atau biografi saya. Semoga tidak. Bagaimanapun, saya ucapkan terima kasih banyak atas “interogasi” Bung.

5 Mei 2011

Wawancara dengan Nirwan Dewanto (4)

Sumber

Adakah penyair yang sedemikian mempengaruhi anda, sehingga anda menjadi penyair dengan puisi seperti sekarang?

Ibu puisi saya adalah bahasa Indonesia, sementara saya bisa memilih aneka bapa perpuisian dari mana saja—dari kampung saya, kampung-kampung tetangga, negeri saya, atau mancanegara. Sampai kapanpun sang ibu akan terus hidup dan menghidupi saya, namun saya bisa menyingkirkan atau membinasakan kaum bapa itu, sebagian atau seluruhnya, dan memilih lagi bapa-bapa yang lain. Sang ibu abadi, sementara sang bapa tidak. Saya gampang tertarik kepada puisi cemerlang dari mana saja, tapi saya sangat berhati-hati dalam mengambilnya sebagai model. Seandainya saja ada model-model itu—yaitu apa yang dalam teori sastra disebut hipogram—dalam sajak-sajak saya, maka saya lebih suka tidak mengatakannya, supaya si penyair tak menghalangi proses pembacaan (juga, supaya saya tak kelihatan keren-kerenan membaca para penyair dari luar sana). Adalah tugas anda sekalian—pengulas, pembaca dan penyair—untuk menemukan dan
menciptakan kembali model-model itu berdasarkan prinsip intertekstualitas. Namun, tak jarang pula, alusi itu, isyarat terhadap rujukan itu, sudah terbimbing oleh beberapa kata dan nama kunci (misalnya saja, Hiroshi Sekine dan Juan Jose Arreola) dalam puisinya sendiri. Bahkan saya menyertakan pula catatan belakang untuk itu. Namun alusi terhadap penyair tertentu, atau terhadap sejumlah baris dalam sajaknya belaka, tidak dengan sendirinya berarti bahwa sajak saya itu bermodelkan apa yang dialusikan.

Saya juga harus mengatakan bahwa model atau “sumber inspirasi” saya bukan hanya puisi. Saya bisa bertolak dari lirik lagu-lagu populer “Selendang Sutra” dan “Sepasang Mata Bola” (keduanya karya Ismail Marzuki) dan “Keroncong Sapu Lidi” (Sukamto); hasilnya adalah sajak “Selendang Sutra”. Khazanah seni rupa sudah pasti merupakan salah satu sumber yang terpenting juga. Ketika menonton pameran “patung” Martin Puryear di Museum of Modern Art, New York, pada awal November lalu, misalnya, citra bubu segera mengembang dalam diri saya; citra itu makin menguat manakala saya menghubungkan Puryear dengan seorang pematung mutakhir kita, Anusapati, yang, seperti Puryear, juga bertolak dari bentuk-bentuk perkakas kampung. Saya ingin menulis kajian perbandingan tentang Anusapati dan Puryear untuk melengkapi (dan “mengoreksi”) ulasan saya tentang pameran Anusapati di Jakarta pada 2001, namun saya berbelok untuk menulis puisi berjudul “Bubu”, yang sudah terlepas sama sekali dari lingkaran dua pematung itu. Selanjutnya, anda akan menemukan sejumlah nama kunci dalam sejumlah puisi saya: karya mereka membuka jalan bagi sajak-sajak saya.

Saya juga gemar melakukan “pembacaan jauh” terhadap aneka lanskap perpuisian nasional di luaran, mencari kaitan antara situasi sosial-politik dengan situasi kebahasaan dan kesastraan di situ. Kait-mengait ini menggugah saya meneliti situasi kebahasaan di negeri sendiri, untuk mencari bentuk-bentuk pengucapan yang paling mungkin, katakanlah yang “strategis”. Situasi sosial-politik selalu memaksa kita membentuk gambaran dunia yang baru melalui bahasa. Puisi buat saya selalu bersifat subversif, dalam arti bahwa dia menantang semua bentuk komunikasi yang sudah mengalami komodifikasi. Puisi mengubah cara kita berbahasa, artinya juga cara kita memandang dunia. (Bersambung)

4 Mei 2011

Wawancara dengan Nirwan Dewanto (3)

Praksis

Dalam puisi-puisi mutakhir anda, kelihatan anda begitu leluasa memanfaatkan berbagai ragam bentuk pengucapan. Masalah bentuk sepertinya sudah “selesai” bagi anda?

Jika anda menggunakan istilah “bentuk”, maka buat saya bentuk bukanlah wadah—atau bukan sekadar wadah—bagi isi (misalnya seperti ember, yang menjadi wadah bagi air yang ditampungnya). Bentuk, buat saya adalah buah dari aspirasi si penyair sendiri. Saya tidak mengejar-ngejar bentuk, namun apa yang dinamakan bentuk itu seperti datang sendiri menyambut cara saya, jalan saya, dalam “menangani” citra, motif, kata, frase, kalimat. Saya “mendengar” bentuk itu, dan hanya membuatnya terlihat bagi pembaca. Kenapa “Putri Malu” berbentuk (seperti) gurindam, “Di Restoran Turki” sonet, “Cumi-cumi” puisi bebas, “Burung Merak” puisi-prosa (prose-poem), dan seterusnya—niscayalah semua itu disebabkan semacam derap, ketukan, atau irama yang beriringan dengan larinya citraan yang mengejar saya atau saya kejar. Namun ada juga cara lain. Bila ada citra atau sederet citra yang terus mengambang di depan saya namun tak kunjung tertangkap, maka saya menyiapkan setengah-desain atau setengah-struktur untuk memerangkapnya. Bila pemerangkapan berhasil, maka citra itu akan berkembang-biak seturut kebutuhannya sendiri, sementara desain itu, struktur itu, juga akan tumbuh sampai menjadi cukup-diri.

Saya selalu curiga kepada kreasi. Sehingga, tahap berikutnya menjadi lebih berat dan seringkali lebih lama: ketika saya benar-benar harus mengerjakan puisi itu, melakukan penyuntingan. Ini adalah tahap memeriksa detil, menambah-kurangi, membongkar-pasang. Saya bisa sekadar memperkuat atau bahkan merombak sama sekali bangunan (desain, struktur, bentuk) yang sudah wujud sebelumnya. Dalam puisi, detil akan tampak cemerlang bila strukturnya kokoh; dan bangunan, struktur, bentuk itu akan cemerlang pula bila jalinan antar-detilnya saling mengunci. Seberapa jauh anda harus menyediakan sunyi dan bunyi, keselarasan dan ketidakselarasan, terang dan bayangan—ini adalah hasil seluruh daya anda bermain dan bertarung dengan gramatika, kekayaan kosakata, semantika dalam bahasa terpakai, juga dengan khazanah perpuisian yang seluas mungkin. Prinsip saya jelas: ambiguitas dan kompleksitas hanya dimungkinkan oleh komposisi yang kuat; tanpa komposisi, hanya ada kegelapan dan keruwetan.

Tentang keleluasaan “memanfaatkan berbagai ragam bentuk pengucapan,” saya ingin mengatakan bahwa setiap penyair sesungguhnya hidup di atas semua tradisi perpuisian yang ada sebelum dia; ya, semua, karena berbagai tradisi itu saling berkelindan hingga mencakup seluruh buana, terlepas dari apakah si penyair peduli atau tidak. Baik yang menganggap diri pembaharu ataupun pengusung tradisi pada dasarnya hanya berlaku ironis belaka tanpa mereka sadari. Masalahnya, keduanya tidak tahu seberapa luas dunia puisi atau puisi dunia karena mereka terpenjara oleh bahasa(-bahasa) yang mereka kuasai. Saya ingin menyuratkan, mengeksplisitkan, ironi itu: anda tidak bisa menjadi baharu, tanpa kemampuan bergerak ke depan (masa depan) dan ke belakang (masa lampau), ke atas (seni luhur) dan ke bawah (seni handap, serta budaya massa). Artinya, anda bisa menulis gurindam atau pantun, tapi anda bisa jauh lebih segar daripada mereka yang membuat puisi bebas, atau mereka yang sibuk memperkarakan lirisisme, misalnya. Atau, jika anda menulis puisi bebas atau puisi-prosa, dengan citra-citra urban misalnya, belum tentu anda menjadi ultramodernis atau pascamodernis; sebaliknya, anda bisa terlihat sangat terkebelakang. Sementara itu, jika anda bersikeras menggali akar tradisi, maka anda bisa sekadar terjerumus ke dalam fundamentalisme dan orientalisme, yang membuahkan bukan puisi, tapi klise dan “politik sastra” belaka. Anda tidak bisa kembali ke akar, tetapi harus menciptakannya. Ya, menciptakan bukan hanya satu akar, tapi aneka akar. Berikut ini contoh, mudah-mudahan tidak memalukan. Setelah membaca sejumlah sajak saya seperti “Putri Malu” dan “Madah Merah”, misalnya, ada penyair Sumatra berkata kepada saya, “Wah, dikau lebih Sumatra daripada aku”; atau, “Aku cemburu, seharusnya akulah yang menulis sajak-sajak seperti itu.” Namun boleh juga kita berandai-andai. Jika saja ada yang berkeberatan dengan kemelayuan atau kesumatraan sajak-sajak saya yang berpola pantun atau gurindam, niscayalah mereka bukan sedang menilai sajak-sajak itu, namun menghubung-hubungkannya dengan riwayat hidup si penyair, yang berdarah Jawa-Using. Jadi, saya harap anda membunuh si penyair dan menatap puisinya belaka.

Ada satu-dua hal lagi yang harus saya sampaikan sehubungan dengan pertanyaan anda. Sebagian besar penyair kita merasa membubuhkan cap jari dengan bertahan pada gaya atau bentuk pengucapan tertentu, bahkan pada kosakata tertentu. Mereka mereproduksikan diri terus-menerus. Amatlah aneh jika penyair berlaku seperti mesin, meskipun mesin yang bersifat romantik, ya, kurang-lebih mesin keharuan! Baru-baru ini ada diskusi tentang lirisisme di Jakarta. Dicemaskan bahwa lirisisme berkuasa, bahkan menjadi semacam imperium. Hiperbol yang dilemparkan penggagas diskusi itu tidak tepat. Yang mereka persoalkan mestinya, kenapa lirisisme dalam perpuisian Indonesia kurus-kering, terkerangkeng pada dua-tiga model belaka. Atau, mereka seharusnya bertanya lebih “radikal” lagi, kenapa di zaman yang sungguh prosais ini kita masih menulis puisi. (Saya ingat Adorno, “Menulis puisi setelah Auschwitz itu barbar.”)

Kelihatannya anda juga berhasil keluar dari “kepungan” imaji-imaji alam yang begitu lama menjadi klise dan “menguasai” jagat puisi kita.

Saya sudah menjawab sebagian pertanyaan ini di atas. (Dan seharusnya anda lebih tegas lagi dalam menilai sajak-sajak saya!) Baiklah saya teruskan. Soalnya bukanlah imaji-imaji alam—atau bahkan alam—itu sendiri. Saya ingin mengajukan analogi di sini. Seorang fisikawan dan biologiwan itu juga berurusan dengan alam, unsur-unsur alam, tapi beda mereka dengan penikmat pemandangan, turis, atau puak penghuni hutan, misalnya, adalah bahwa mereka mengambil jarak tertentu dengan alam dan mengajukan pertanyaan kritis terhadapnya. Demikian juga dalam dunia puisi. Yang jadi soal bukanlah imaji-imaji alam atau alam itu sendiri, tapi sikap kita terhadapnya. Kalau kita menggunakan citra-citra alam, belum tentu kita menjadi penyair romantik. Sebaliknya, dengan mengusung citra urban, kita bisa telak menjadi penyair romantik (miriplah kurang-lebih dengan perilaku kedusun-dusunan yang kian menjadi-jadi di ranah metropolitan).

Saya pernah mengatakan bahwa para penyair kita asyik berburu lambang-lambang, seakan mereka mengamalkan kreativitas yang paling mustahil. Padahal yang terjadi sesungguhnya, lelambang yang mereka buru itu terbatas adanya, hanya kosakata tertentu yang sudah menjadi rumus dan klise dalam perpuisian Indonesia, pun hanya dalam dua-tiga model yang itu-itu juga, barangkali hanya dengan sedikit variasi. Jadi, para penyair harus berhenti memanjakan keharuan dan berburu lambang sekenanya, lalu mengajukan pertanyaan kritis terhadap kosakata dan kosacitra yang telanjur tersedia, dan mengambil jarak yang masuk akal terhadap perpuisian nasional. Pada saat yang sama, mereka harus menyadari bahwa baru sebagian kecil belaka potensi bahasa Indonesia yang tergali. Mereka harus membuktikan bahwa puisi bukan topeng bagi cacat berbahasa. (Bersambung)

Baca juga: Wawancara 1, Wawancara 2, Wawancara 4, Wawancara 5

3 Mei 2011

Wawancara dengan Nirwan Dewanto (2)


Pemurnian
Antara periode 1989 – 2004, publik (atau setidaknya saya) sempat lama kehilangan puisi-puisi anda. Baru pada 2005, “mendadak” lima sajak anda muncul di Kompas. Apa yang menahan anda untuk “menghilang” begitu lama, dan apa pula yang akhirnya mendorong anda untuk turun gunung lagi?

Periode anda “kehilangan puisi-puisi” saya mestinya tidaklah sepanjang itu. Saya masih menerbitkan, meski jarang, sejumlah puisi sampai tahun 1995—di harian Surabaya Post, jurnal Ulumul Quran, dan harian Media Indonesia edisi Minggu. Selanjutnya, sampai 2004, saya masih menulis puisi, yaitu sebagai proses mendisiplinkan diri yang sudah saya sebut tadi, namun nafsu saya untuk menerbitkannya sudah padam. Sajak-sajak itu sekadar tinggal dalam laci, buku harian, atau lenyap; akhirnya memang sebagian besar benar-benar lenyap. Tapi saya tidak berpisah sama sekali dari dunia sastra. Saya menjadi ketua redaksi jurnal kebudayaan Kalam sejak 1994, dan sejak 2002 menjadi penjaga lembar sastra Koran Tempo edisi Minggu. Menjadi editor mengharuskan saya mengambil jarak tertentu dengan, dan makin kritis terhadap, sastra. Saya terbiasa melihat lanskap, bukan menyempitkan pandangan terhadap karya-karya tertentu saja. Saya makin kejam terhadap diri sendiri, “Jangan menerbitkan karyamu deh, supaya engkau bisa jernih memilih karya orang lain.”

Dan sejak 1991, saya menjajal kemampuan “diskursif” saya. Yaitu menilai kesenian. Sejak kecil, minat saya memang bukan hanya sastra, tapi kesenian. Teman-teman dikusi saya berasal dari disiplin-disiplin seni rupa, teater, tari, musik, arsitektur, dan sinema; juga ekonomi, fisika, dan ilmu politik. Nah, saya pun menulis ulasan kesenian dan ulasan “kebudayaan”. Di samping itu, minat saya juga mengarah ke sejumlah bidang lain, misalnya saja ke botani dan zoologi. Namun tentulah konsentrasi saya yang terbanyak tetap pada sastra. Intuisi saya yang tertajam tertuju pada sastra. Ini sudah terlatih sejak kecil, paling tidak sejak SMP. Sebagai redaktur lembar sastra Koran Tempo edisi Minggu, saya menghadapi segunung naskah tiap minggu. Saya juga “mengawasi” lembar sastra sejumlah koran dan mengikuti penerbitan sastra dari berbagai daerah, juga “sastra di dunia cyber”. Setiap akhir tahun, saya menuliskan penilaian saya. Demikianlah saya percaya, banyak sekali yang belum dikerjakan para sastrawan kita. Saya tahu bahwa saya tidak bisa sekadar berharap atau melancarkan kritik. Apa yang tidak dikerjakan itu, harus saya kerjakan sendiri, paling tidak sebagian. Bolehlah kini saya anggap bahwa tulisan kritis saya hanyalah semacam pendahuluan untuk penulisan puisi saya yang berlangsung sepanjang 2005-2007, yang berujung pada Jantung Lebah Ratu ini.

Sebenarnya sejak 1997-1998, saya terus melakukan percobaan untuk menjelajahi batas antara prosa dan puisi. Ketika membaca sejumlah novel terbaru dari luar, saya sungguh-sungguh cemburu kepada kaum novelis itu, tapi saya tidak ingin menulis seperti mereka. Saya pun menulis cerita, atau semacam cerita, cerita panjang, yang selalu saja tertarik-tarik ke arah puisi; atau saya ingin melupakan puisi, dengan cara menulis prosa yang tidak prosais. Hasilnya adalah beberapa fragmen, tiga di antaranya sempat terbit di Kalam (2000-2001) dan jurnal Prosa (2002). Pada pertengahan 2004, saya lakukan percobaan dengan puisi lagi. Entah kenapa, ada sejumlah citra tertentu yang sering lewat di depan saya, dan terus mengganggu. Mungkin citra-citra itu berasal dari kunjungan saya ke sejumlah museum dan kebun binatang di mancanegara. Saya harus menjinakkan mereka, dengan cara memberi mereka bentuk tertentu. Kadang saya berhasil, kadang gagal; namun, akhirnya saya muak dengan apa yang saya capai; sebagaimana sebelumnya, sajak-sajak itu saya buang belaka. Namun saya terus terangsang, karena saya menemukan sejumlah puisi dari luar yang begitu cemerlang. Pada akhir tahun 2004, saya putuskan untuk betul-betul berkonsentrasi: saya bisa duduk berjam-jam mengotak-atik setiap bangunan bahasa yang mungkin untuk menjadi rumah bagi citra atau motif yang “mengganggu” saya. Sampai pertengahan Februari 2005, saya menghasilkan kurang-lebih 12 sajak (yang lima di antaranya dimuat Kompas pada akhir Maret 2005). Sejak itu saya tahu telah mendapatkan lagi gairah kepuisian. Suara penyair menghuni diri saya lagi. (Bersambung)

2 Mei 2011

Wawancara dengan Nirwan Dewanto (1)

Pengantar
Wawancara dengan Nirwan Dewanto (ND) ini sudah pernah disiarkan lewat blog Rak Puisi sekitar April 2008. Obrolan tertulis ini—yang dibuat sehubungan dengan bakal terbitrnya (ketika itu) buku puisi ND pertama. Jantung Lebah Ratu (JLR), di luar dugaan saya sendiri ternyata mendapat cukup banyak perhatian. Setahu saya, selain pernah termuat dalam blog  yang sekarang sudah “marhum” itu, wawancara itu hanya  termuat lengkap dalam sebuah kitab kecil yang disiapkan ND untuk acara launching JLR, yang tentu saja hanya menjangkau lingkaran pembaca yang kecil.

Karena pertimbangan itulah, saya memutuskan untuk menyiarkan ulang wawancara dengan ND itu, agar wawancara itu—dengan segala plus minus dan kontroversinya—tetap dapat dibaca dan diakses oleh pembaca/peminat yang lebih luas.

Seperti pada pemuatan pertamanya, wawancara akan disajikant dalam 5 kali pemuatan. Selamat membaca (ulang)!

Kumpulan puisi pertama anda akhirnya bakal terbit, tapi mengapa baru sekarang? Mengapa begitu lama? Apa yang membuat seorang Nirwan Dewanto bisa begitu bersabar menunggu selama itu?

Sesungguhnya saya tidaklah pernah merasa “bersabar menunggu selama itu”. Bahkan saya merasa tidak menunggu sama sekali. Barangkali karena saya tidak pernah bertegang-tegang dengan dunia sastra, misalnya saja mencari posisi atau pengaruh. Menulis buat saya adalah semacam laku mendisiplinkan diri. Jika saya menulis, saya sering merasa karya saya adalah karya dalam proses, seakan proyek seumur hidup. Tapi ini tidak realistis, bukan? Banyak tulisan saya yang tersimpan dalam dalam laci. Kadang-kadang saja saya menengoknya dan berpikir bahwa beberapa di antaranya layak terbit. Namun, saya juga terlalu kritis terhadap diri sendiri. Seringkali laku kritik-diri ini bersifat patologis. Saya senang mencoret-coret dan membuang karya sendiri. Meski saya tak putus-putusnya menulis, akhirnya jumlah karya saya tidak banyak juga. Sebagian besar sudah lenyap. Dan sudah saya lupakan pula. (Sebagian lagi digambari oleh dua keponakan saya sehingga teks-nya tak terbaca lagi.) Berlaku sebagai kritikus terhadap karya sendiri ini ada sisi “positif”-nya juga: saya bisa merasa lahir kembali pada tahap-tahap tertentu. Namun pada gilirannya, jika anda merasa terlalu sering merasa diri lahir kembali, anda tidak berpikir tentang produktivitas, tentang himpunan karya yang bisa diukur panjang-pendeknya, tentang buku, tentang daftar karya sendiri.

Nah, tiba-tiba kita merasa waktu berjalan cepat sekali. Dan anda mulai berpikir bahwa waktu anda terbatas. Begitu pula saya. Paling tidak, untuk setiap masa “kelahiran kembali”, kita harus terdorong menghasilkan satu buku. Anda harus bersikap kritis terhadap karya sendiri memang, tapi anda harus memberi kesempatan kepada karya anda untuk menjumpai pembaca dan penilainya sendiri. Ya, sekaranglah saatnya. Dan jangan berpura-pura bahwa anda bisa lahir lagi nanti.

Kumpulan ini, kalau boleh dapat bocoran, mencakup puisi dari periode puisi anda yang mana saja? Dan kapan persisnya bakal keluar?

Tak ada yang harus dirahasiakan, Bung. Buku saya memuat 46 judul puisi yang saya buat sepanjang 2005-2007, hampir setengah di antaranya belum pernah termuat di mana pun. Buku itu diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, dan akan beredar, kalau tak ada halangan yang berarti, pada 22 April 2008. Oh ya, judulnya Jantung Lebah Ratu. Ini judul terbaik yang bisa saya kenakan untuk buku puisi saya. (Jadi bukan Perenang Buta, Bung, seperti yang pernah sempat tersiar.) Saya merasa alangkah baiknya kalau judul buku bukan judul salah satu puisi. Buat saya, judul final yang “enak bunyinya” ini akan menggoda pembaca.

Lama sebelum ini anda pernah merencanakan terbitnya kumpulan puisi “Buku Cacing”. Bagaimana nasib kumpulan itu?

Setiap kali ada yang bertanya tentang “Buku Cacing”, saya terhenyak, oh, tak sedikit yang mengingat manuskrip itu. Bahkan ada sejumlah kolega, pembaca dan penyair (termasuk yang jauh lebih muda ketimbang saya), menanyakan kumpulan itu. Saya heran, bagaimana mereka tahu dan masih mengingat “Buku Cacing”. Mungkin karena mereka membaca Tonggak (suntingan Linus Suryadi AG) jilid keempat. Mungkin sebagian yang lain adalah “kawan-kawan” yang mengamat-amati saya sejak pembacaan puisi saya dalam “Tiga Penyair Bandung” yang ditaja Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta di Teater Arena TIM pada 19 Juni 1987, di mana saya membacakan sebagian dari “Buku Cacing”.

“Buku Cacing” adalah hasil pergaulan saya dengan perpuisian Indonesia—mungkin lebih tepat dikatakan kepenyairan Indonesia—sepanjang kurang lebih 1983-1986, khususnya kalangan penyair di Bandung dan, lebih khusus lagi, lingkungan Grup Apresiasi Sastra ITB (tempat kuliah saya). Dengan menulis sajak-sajak itu, pada waktu itu saya begitu yakin bahwa saya mampu memasuki dunia puisi Indonesia. Dan ini sungguh-sungguh terjadi. Sajak-sajak saya dimuat sejumlah lembar sastra bergengsi, dan kaum penyair menganggap saya sebagai kaum mereka. Namun, selepas 1987, ketika saya membaca-baca lagi “Buku Cacing”, ketika saya nyaris menerbitkannya, saya sudah mampu bersikap keras terhadap diri sendiri. Saya ingin membunuh si penyair yang hidup dalam diri saya. Lantas begitu saja padamlah hasrat saya menerbitkan “Buku Cacing”.

“Buku Cacing” adalah masa lalu saya, yang hendak saya tolak, namun ternyata selalu hadir kembali. Bahwa tak sedikit orang yang masih berminat dengan sejumlah sajak yang termaktub di dalamnya, itu mungkin menyatakan bahwa “Buku Cacing” ada juga nilainya. Jika akhir-akhir ini saya menengoknya lagi, saya mencoba belajar menghargainya kembali, seperti melihat masa muda saya, yang tentulah mengandung sendu dan marah tesendiri. Jika nanti saya membuat himpunan sajak lengkap atau himpunan sajak terpilih, saya pasti akan menyertakan sejumlah sajak—tentu setelah melakukan sedikit revisi atasnya—dari manuskrip itu. (Bersambung)

Baca juga: Wawancara 2, Wawancara 3, Wawancara 4, Wawancara 5