21 Agu 2011

Ular Gunung


Ada yang menamakan kami
Naga Lima Langkah
Sebab demikian pintar kami
                                  Meracik bisa
Seakan iblis sendiri
Menanamkannya pada
                      Taring waktu

Kemudian kami pun
Menunggu
                 Sabar dan tak terburu
Sampai hewan atau kalian tersekap
         Dalam ini perangkap
Sempurna kami tebar
Supaya kami sisakan kemudian
                               Lima tindak
Untuk kalian melangkah
Sebelum rebah juga akhirnya
                             Dekat pagar belakang

Kuulangi, jadi itulah
Mengapa
                Mereka sebut kami
Naga Lima Langkah

Semua itu taklah mengejutkan
Bisa kau temukan pada
Lembar resmi ensiklopedia
Persis pada halaman
Bab reptilia darat
                      Yang luput
              Tercatat di sana
Kami juga hidup aman
Melingkar samar
Dalam gelap belukar
Sanubari manusia
Seraya 
           Menebar ini bisa
           Merata pada
Garis silsilah kalian:
Para mahkluk jumawa
Turunan dewata?

11 Agu 2011

Tentang "Kata Pengantar"

Kata pengantar untuk sebuah buku puisi selalu menyimpan resiko untuk menjadi tidak seimbang, sepanjang ia ditulis oleh penulis buku itu sendiri. Ada dua kemungkinan yang bisa terjadi. Sang penyair mungkin akan tergoda untuk “membesar-besarkan” karyanya, atau bisa saja ia tergoda berbicara “melantur”, melebar ke soal-soal lain.

Yang paling sering terjadi, ia menjadi asyik membicarakan proses penciptaan karyanya. Meskipun ia tahu belaka bahwa sebuah proses penciptaan tidak selalu terhubung korelatif dengan kualitas karya yang dihasilkannya, toh ia tertarik juga memgobrolkannya. Maka tidak usah heran kalau kita suka menemukan “kata pengantar” yang ternyata lebih hebat ketimbang muatan puisi dalam bukunya itu sendiri.

Yang sebaliknya juga bisa terjadi. Sang penyair menjadi terlalu berhati-hati, mencoba berpose sekadarnya saja, mencoba mengirit gaya. Atau ia malah tergoda untuk “mengecilkan” arti karya-karyanya sendiri. Mungkin itu lebih baik ketimbang kalau ia menjadi besar kepala dan kemudian membikin kita mengelus dada dengan pose-posenya yang menjengkelkan. Tapi jika ia malu-malu untuk bergaya begitu, mengapa harus ia memaksakan diri membuat juga “kata pengantar” untuk bukunya itu?

Mengapa tidak membiarkan saja buku itu tanpa kata pengantar? Penyair Taufiq Ismail suka menyebut puisi-puisinya sebagai “anak-anak”nya sendiri. Maka biarlah sajak-sajak yang sudah selesai kita tulis itu, “anak-anak” kita itu, mencoba membela diri dan (kalau mungkin) memberikan perlawanan sendiri sebisa-bisanya. Saya selalu percaya, jika ia, sajak-sajak itu, telah menjadi “matang” dewasa, insyallah, tak akan gampang-gampang ia dijatuhkan.

6 Agu 2011

Kangen

Sore ini saya mengantar ayah ke dokter. Sebetulnya ayah sudah meninggal lebih tiga puluh tahun yang lalu, pada suatu Ahad pagi yang sedikit berhujan. Meninggal dengan damai di kamarnya agak sempit tapi nyaman. Kami berlima ketika itu menungguinya dengan sabar sepanjang malam. Saat fajar datang, tanda-tanda pun lengkap, ibu memekik pelan, menyongsongnya.

Begitulah, sore ini ayah meminta saya mengantarnya ke dokter. Ia mengaku agak kurang enak badan. Saya tak sampai hati menolaknya, jadi kami pun bertolak dengan taksi warna biru. Ruang tunggu dokter sudah hampir penuh oleh aroma orang-orang mati, yang anehnya berwajah cerah gembira. Mereka ternyata juga sudah saling kenal lama, maka riuhlah kamar tunggu yang sempit itu. Ayah mengenalkan beberapa kepadaku. Mereka menjabat saya erat, dan ada yang tak sabaran menanyakan warta dunia hari ini. Mereka berkata bahwa mereka sendiri baik-baik adanya, hanya kadang kangen.

Saya menemani ayah menemui dokter. Saya masih ingat tiga puluh tahun yang lalu lelaki yang gemar berseloroh sembarang waktu itulah yang berkata, “Ayahmu  tak  akan  lama  lagi, jadi  berkemaslah.” Kini dua orang itu berjumpa pula. Dokter itu, yang sekarang terlihat begitu renta, anehnya malah terlihat sibuk memeriksa tubuhnya sendiri. Ia, misalnya, memeriksa tekanan darahnya, menimbang berat badan, dan terakhir sekali mencoba mencocokkan denyut jantung dengan debar-debur rindunya.

Nah, ia pun manggut-manggut, nampaknya puas belaka. Lantas dengan masih tertawa-tawa seperti dulu hari mendadak saja ia berpaling kepada saya dan berkata, sarat dengan tawa, “Saya tak akan lama lagi, jadi tinggalkanlah kami.” Saya terpana, tapi kemudian pergi juga dengan semacam perasaan lega yang aneh, meninggalkan mereka berdua berbahagia pada akhir tulisan ini. Saya langsung bertolak pulang ke dunia saya yang nyata dengan menumpang taksi berwarna biru. Di sepanjang jalan saya masih terus juga berpikir-pikir, mungkin betul di sorga ayah baik-baik saja, hanya kadang kangen.

2010