16 Jun 2011

Kepada Jessy Gusman

SUATU ketika di tahun 1980-an, Jessy Gusman—yang kala itu masih seorang artis remaja papan atas nan cantik molek—mengatakan kepada seorang wartawan bahwa ia masih menyimpan sebuah keinginan terpendam yang sampai saat itu belum sempat dikecapnya. Anda tahu apa “keinginan terpendam” yang dimaksudnya? Ini: Berjejalan naik bus kota di Jakarta.

Kemiskinan dan “hidup susah” memang bisa saja terlihat eksotis dan “indah” jika kita berkesempatan mengamatinya dari jarak yang cukup jauh dan aman. Artinya jika kita berada dalam posisi hanya sebagai “penonton”--atau mimimal sekadar “saksi”—dan bukan pelaku, atau lebih tepat “korban”, dari lelakon hidup susah itu.

Begitu juga dengan pengalaman berjejalan dalam bus kota. Apa nikmatnya coba naik bus kota berdesakkan begitu: gerah, panas, bau, lengket. Setiap hari saya pulang pergi ke kantor dengan bus kota, dan saya tahu betul betapa tak nyamannya kondisi angkutan umum yang satu ini. Bus  transjakarta yang dijagokan itu juga mirip keadannya. Bukan hanya tak nyaman, pun tiada aman. Saya pernah dua kali digebuki copet—gara-gara mau meniru Bruce Lee hehe--sampai hampir terlempar dari pintunya.

Maka jika si cantik Jessy Gusman dulu pernah berangan-angan kepengin merasakan pengalaman “berdesakkan dalam bus kota”, itu tentu harus dipahami sebagai keinginan seorang kaya dan mapan yang sekadar haus pengalaman yang sedikit beda. Katakanlah itu semacam ovonturisme kecil-kecilan, yang tentu saja aman dan tak beresiko sama sekali. Karena sang artis masih berada dalam zona amannya sendiri, nun di atas sana.

Baca juga: Pikiran dalam Bus Berjejal 

15 Jun 2011

Pikiran dalam Bus Berjejal

: Jessy Gusman

Hidup mungkin seperti bus kota ini
Orang-orang berdiri berimpitan
Begitu dekat tapi luput kaupahami
Siapa namanya, di mana turun nanti

Kalau beruntung kau dapat duduk
Dekat jendela, itu bisa berarti segalanya
Dalam ini bus berjejal, di mana tak sesiapa
Boleh sembarang diajak bicara

Duduk atau berdirilah diam
Di tempatmu kini, meski tak nyaman
Belajarlah bersabar, pertama kepada
Dirimu sendiri, kedua, penumpang

Mungkin usilan di sebelahmu itu
Belajarlah tabah, seperti bus kota ini
Sendiri, merayap pelan mejelajah sepi
Menembus belantara luka Jakarta

Mungkin, mungkin hidup
Seperti bus kota ini, kita di dalamnya
Terperangkap, sesama penumpang
Nasib yang tak kunjung lapang

14 Jun 2011

Ruang Rapat

Mereka para pemain
Sirkus yang mahir
Hanya orang-orang seperti
Mereka boleh ada
Dalam kamar rahasia
Itu membincangkan seru
Hal-hal yang muskil tampaknya

Lihat mereka selalu
Masih bisa terbahak
Meski tiada hal yang lucu
Samasekali, pun berpura duka
Berhadapan dengan kertas
Wajah mereka pun mengeras
Kita di luar mendengar saja
Sayup suara mereka
Mungkin sebuah kabar
Petaka lahir dari sana

Barangkali baru saja
Mereka ambil sebuah
Putusan genting seputar
Nasib orang di luar ruangan
Nasib kau dan aku juga
Tanpa bisa kita ikutan
Urun rembug sebab hanya
Mereka punya mandat
Membuka surat wasiat
Dalam itu kotak terkunci

Mereka para pemain
Sirkus yang mahir
Hanya orang-orang seperti
Mereka boleh ada
Dalam itu kamar, tersesat
Membincangkan seru sekali
Hal-hal gawat sepertinya

10 Jun 2011

Penyair, Di mana Berakhirnya Mata Sajakmu?

SEORANG penyair mungkin saja “berakhir”—maksudnya, berhenti menulis lagi puisi—karena sebab-sebab yang sederhana saja. Ia mungkin saja menjadi begitu repot dengan rutinitas hariannya, tak memiliki lagi “celah” waktu untuk sekadar duduk tenang dan menuliskan sesuatu di atas lembaran angannya. Dalam kenyataannya mungkin ini adalah penyebab paling umum yang biasa dijumpai. Rutinitas yang padat itu pada akhirnya menumpulkan naluri puitiknya, mematikan hasrat-hasratnya pada kerja puitik, dan pada gilirannya bisa saja membunuh penghargaannya kepada puisi.

Berubahnya kondisi sosial ekonomis seorang penulis juga banyak andil pada kelangsungan karier menulisnya. Ada banyak contoh bisa disebut. Misalnya saja apa yang terjadi pada rombongan “sastrawan Bulungan” Jakarta. Bertahun-tahun yang lalu, sewaktu mereka masih “gelandangan”, banyak kalangan (termasuk saya) menduga kelak dari mereka bakal lahir sejumlah nama dan karya yang betul besar. Kini banyak dari mereka telah menjadi tajir dan makmur, menjalani hidup sebagai bos dan juragan, dan kita pun semakin jarang saja mendengar kiprah mereka di dunia sastra. Sebagian dari mereka ternyata masih berusaha bertahan, tapi yang kita dapatkan hanyalah percik-percik buih kecil, bukan lagi hempasan-hempasan gelombang besar di pantai.

Apakah ada sebab yang lain? Pasti ada. Seorang penyair bisa saja merasakan kejemuan dan ketidakpuasan pada puisi-puisinya sendiri, merasa bahwa ia ternyata, dengan kehadiran karyanya, hanya “mengotori” khazanah sastra negerinya. Maka ia pun akhirnya, dengan semacam “kesadaran” dan rasa tanggung jawab yang “luhur”, memutuskan “lengser” dari panggung. Atau minimal ia lantas berpikir untuk “menepi sejenak”: menghitung ulang kembali segala sesuatunya, sebelum memutuskan apa bakal terus, atau berbelok segera di pengkolan pertama yang ditemuinya.

Seorang penyair bisa saja memutuskan berhenti menyair karena merasa “target” yang dipasangnya sudah “selesai”. Target? Saya percaya, setiap penulis dari level apa pun, mempunyai target di kepalanya. Masalahnya, ada yang terobsesi pada target “artistik”, tapi ada juga yang kemudian terperosok pada target yang “ekonomis” melulu, atau bisa saja mereka mencoba belajar “mengawinkan” keduanya. Saya hanya ingin bilang, ini semua adalah hal yang biasa saja.

Di awal-awal 1980-an dulu, ada seorang penyair Yogya (?) yang jadi favorit saya. Menurut saya, puisinya tidak jelek, tapi puisi-puisinya hanya muncul di rubrik-rubrik koran mingguan (atau majalah remaja) yang sepertinya dipandang “kurang berwibawa”. Lalu saya sempat tahu juga, bahwa selain menulis puisi, ia pun kadang menulis “kritik”, dan isi “kritik”nya seingat saya selalu sama: menyerang (untuk tidak menyebut “menghujat”) nama sebuah majalah sastra kondang saat itu. Waktu berlalu, dan suatu ketika saya melihat dua potong sajaknya nongol di majalah kondang itu. Ajaib bin aneh, sesudah pemuatan itu, puisi-puisinya—yang menurut saya tidak jelek—dan juga “kritik-kritik”nya—yang isinya melulu mengutuki majalah sastra kondang itu—tak pernah muncul lagi.

Saya pun kemudian memberanikan diri menarik kesimpulan, oh ia rupanya telah merasa mencapai “target” yang dipatoknya, dan kemudian memutuskan “pensiun”.

Tak ada yang salah dengannya, itu masalah pilihan belaka. Penyair yang lain mungkin memasang target yang lebih “maju”. Misalnya, menargetkan “pensiun” setelah buku pertamanya bisa diterbitkan. Mungkin ada yang memasang target “hadiah sastra” sebagai ancang-ancang untuk “pamitan” dari dunia sastra. Program penulisan kreatif dari sebuah universitas kondang di negeri “kulon” sana sering juga disalah-kaprahi sebagai “ukuran” (atau “dalih”) untuk berhenti menulis.

Maka tak usah heran kalau ada penulis yang sepulang dari sana alih-alih tambah kreatif, malah ia kapiran tenggelam tak kedengaran lagi bunyinya. Mungkin program penulisan kreatif itu diperlakukannya sebagai “hadiah piknik perpisahan” atas jerih-payahnya sesudah berpeluh dan “berdarah-darah” di dunia sastra untuk sejumlah tahun?

7 Jun 2011

Jin

Ada jin ngendon
Dalam rapuh tubuh saya
Sebaiknya tak menanyakan
Sebab ia tak bernama
Tak punya wajah
Pun tanpa silsilah
Tapi membayang pada
Setiap langkah kata
Yang saya goreskan
Tergesa pada helai waktu
Berguguran depan pintu
Tak perlu judul
Guna mengenalnya
Tak guna tatabahasa
Sebab ia bertindak
Di luar hukum-hukum
Tuturan yang biasa
Sebaiknya jangan bertanya
Pada saya bila ia mulai
Saya pun tak paham
Mengapa dipilihnya
Ini tubuh rongsok
Lama membusuk
Tempatnya melongok
Rahasia purba teronggok
Di mana bermula
Bunda bahasa

6 Jun 2011

Hari Terakhir Seorang Teroris Suatu Siang

        : Dulmatin

Di sebuah warnet yang sepi
Kurancang wajah sebuah negeri
Sebuah negeri yang terbikin dari api
Para penguasanya bersuara benci

Di jalan-jalannya yang tegang
Mondar-mandir polisi menghadang
Mengontrol isi batok kepala warganya
Cemas nyelip di sana begundal amerika

Negeri yang seperti mimpi itu
Memang pernah ada ditulis dulu
Kini di sebuah warnet yang sepi
Aku duduk merancangnya sekali lagi

2010-2011

3 Jun 2011

Dibanding Sajakmu

Dibanding sajakmu
Baris-baris yang kutulis
Kelihatan kurus-kurus
Kurang gizi dan penyakitan

Dibanding sajakmu
Kata-kata yang kupilih
Jadi terasa sangat biasa
Lembek dan tak bertenaga

Bagaimana baris-barisku
Bisa bertahan di jalanan bahasa
Tidak gampang menyerah
Begitu saja dikutuk waktu?

Kata-kataku yang biasa
Yang nyalanya suram meredup
Bagaimana bisa kiranya bersaing
Dalam khazanah yang bising ini?

Di jalan raya dunia yang culas
Sajakku yang kurus sakitan
Judulku yang gagap bertanya:
Betulkah semudah itu saya binasa?

1 Jun 2011

Islam Koq "Serem"?

SUDAH lama saya diusik tanya itu. Kenapa Islam kok kesannya serem ya? Gampang marah, cepat main ancam, main boikot dan banyak lagi perilaku garang lainnya. Sedikit-sedikit main serbu, merusak ini itu, dan lain sebagainya. Saya datang dari latar belakang bukan muslim, jadi maaf kalau saya tak begitu paham dengan semua fenomena itu.

Saya suka bertanya, apakah memang Islam sejatinya mengajar untuk cepat marah dan main hantam begitu, atau ini masalah tafsir belaka? Saya sering berusaha meyakin-yakinkan diri bahwa ini hanya soal tafsir barangkali. Saya katakan kepada diri saya, Islam yang sejati pastilah berwajah sejuk, meski bukan berarti lembek dan mandah saja diperlakukan berat sebelah.

Saya suka pada figur damai dan moderat seperti Gus Dur (alm), Nurcholis Majid (alm), Emha Ainun Najib, Ulil Abshar Abdalla, dan beberapa lainnya. Adakah mereka representasi yang paling mewakili Islam? Oh pasti banyak yang tidak setuju dengan pikiran itu. Bukankah pada masanya dulu almarhum Nurcholis Majid dianggap “murtad” karena gagasan sekularisasinya?

Ulil Abshar Abdalla malah pernah ditafwa mati oleh sejumlah ulama Islam di sini, karena pikiran dan omongan-omongannya dianggap ngawur dan menyesatkan. Emha? Ia pun saya kira bukan tokoh yang disukai oleh banyak ulama karena pikiran-pikirannya yang cenderung “nyeniman”. Lalu almarhum Gus Dur. Ah kita sudah tahu ia banyak “mengoleksi” musuh justru dari kelompok muslim, dan malah meraih simpati dari yang non muslim.

Di luar nama-nama yang dituduh “liberal” itu kita menemukan barisan muslim yang lain. Sebagian dari mereka menduduki posisi-posisi penting dalam organisasi Islam yang “menentukan” di sini. Mereka, dengan atau minus sorban Arabnya, umumnya berwajah “tunggal” : mematok harga mati untuk banyak hal.

Kadang saya mendapat kesan kelompok “keras” ini menampilkan wajah yang mendua. Misalnya, mereka suka mengeluarkan imbauan agar umat tidak “terpancing”, atau membela diri bahwa Islam menolak kekerasan, tapi mereka cenderung membiarkan kalau kekerasan itu kemudian sungguh terjadi. Setahu saya, MUI umpamanya, tidak pernah mengeluarkan semacam teguran (apalagi dampratan) kepada aksi-aksi anarkis sepihak yang kerap dipamerkan oleh kelompok Front Pembela Islam.

Ini membingungkan saya. Sebetulnya mereka (MUI) setuju atau tidak pada anarkisme jalanan ala FPI itu? Saya, sekali lagi, tidak datang dari latar belakang muslim—meski beberapa teman karib saya adalah muslim semuslimnya—jadi maaf, apabila saya tak kunjung paham dengan fenomena ini. Adakah yang bersedia membantu menjelaskan?

Baca juga: Teroris "Islam", Siapa Pendukungnya?