15 Sep 2011

"Asesoris" Iman

ADA kejadian lucu sewaktu polisi meluruk ke “kandang” FPI di Tanah Abang, Jakarta. Entah karena polisinya kelewat tegang, atau ada faktor lain, mereka sempat “salah mata” dan menangkap seorang yang ternyata bukan anggota FPI. Penyebab salah tangkap itu ternyata sederhana, yaitu karena yang bersangkutan—ia mengaku hanya tukang semir sepatu—berjanggut ala anggota FPI umumnya.

Memang belakangan ini, janggut—ditambah baju koko, peci putih, dan sorban—oleh sebagian kelompok seperti dijadikan “asesori wajib” yang harus dikenakan kalau kepingin dianggap “sungguh muslim”. Mungkinkah ini hanya sebuah tren modis yang sifatnya temporer semata, memang masih harus ditunggu dan dibuktikan.

Yang berbahaya adalah kalau kemudian keberadaan asesoris itu dijadikan juga alat untuk mengukur tingkat kesalehan seseorang. Orang lalu terpaku pada apa yang kelihatan oleh mata lahiriah. Iman diukur dari apa yang dikenakan: jubah, peci, sorban, tasbih yang ditenteng ke sana-ke mari (mungkin juga jidat yang ‘kapalan’ karena seringnya bersujud?) bukan dari perilaku nyata sehari-hari yang bersangkutan.

Seorang mistikus katolik dari Spanyol, Santo Yohanes Salib, pernah juga menyinggung soal kegandrungan pada asesoris fisik ini. Menurut santo suci itu, asesoris yang dikenakan itu memang bukti adanya iman pada orang yang mengenakannya, tapi mohon maaf, yang dimaksud oleh sang santo adalah iman yang masih pada tingkatan awal, atau permulaan. Jadi kalau diumpamakan murid sekolah, ia baru siswa TK atau SD.

Sebaliknya iman yang tulen, yang sudah paten teruji, tidak lagi merisaukan (atau direpotkan) tampilan yang hanya fisikal sifatnya. Sebab memang, yang penting akhirnya “isi”nya, bukan kemasannya. Awas, kemasan bisa menipu, tidak “isi”nya.

9 Sep 2011

Film Indonesia dan Saya

Saya tak pernah tertarik menonton film Indonesia, sejak film-film seperti “Lewat Djam Malam” dan “Krisis” tidak pernah dibuat orang lagi, begitu suatu kali Goenawan Mohamad menulis. Ketika membacanya saya tertegun :  film macam apakah “Lewat Djam Malam” dan “Krisis” yang begitu dipujikan Goenawan itu? Rasa penasaran  semakin bertambah setelah saya membaca juga ulasan seorang kritikus film asal Jepang.  Sang kritikus menyebut film itu sebagai salah satu film terbaik dunia (!) yang pernah ditontonnya.

Kedua film itu adalah buah tangan dingin sineas besar kita, Usmar Ismail (alm). Saya merasa beruntung pernah menonton keduanya lewat sajian layar TVRI entah berapa tahun yang lalu—rasanya masa itu sudah lama sekali. Saya kurang begitu ingat film “Krisis”, tapi “Lewat Djam Malam” bagi saya sungguh sebuah film hebat. Film itu berkisah tentang kekecewaan “para pejuang” revolusi yang kembali dari medan perang  ke dalam kehidupan “damai” di kota. Tokoh utamanya diceritakan “gagal” berdaptasi dengan situasi kehidupan yang “normal” dan ia terlibat dalam sejumlah konflik, bahkan juga dengan bekas teman-temannya sesama “pejuang”.

Masa sewaktu film itu dibuat adalah masa-masa yang belum lagi jauh dari kalibut debu dan mesiu 1945. Situasi masih serba seadanya dan darurat. Tapi justru di tengah kondisi yang serba pas-pasan itu Usmar berhasil menelurkan sebuah “maha karya”—pujian yang tidaklah mengada-ada dan berlebihan—sebagaimana diutarakan oleh kritikus film asal Jepang yang disinggung di awal tulisan ini. Konflik dalam film itu tertuang dengan jernih dan kuat tanpa banyak polesan yang tidak perlu. Sungguh sebuah karya yang menggetarkan.

Sesudah menontonnya saya pun terpaksa bersetuju dengan Goenawan Mohamad.  Memang saya masih menyempatkan diri menonton sejumlah film nasional lain, dan ada sejumlah film yang cukup menarik, tapi pengalaman artistik yang menggetarkan, yang membuat saya mengalami “orgasme artistik”—seperti ketika menyaksikan “Lewat Djam Malam”—belum pernah lagi saya alami. Sineas-sineas yang dianggap “besar” dan  ”penting” pasca Usmar Ismail  (dari Teguh Karya sampai yang paling mutakhir generasi Riri Riza) menurut saya belum bisa membuat film sebagus itu lagi..

Mungkin yang “agak mendekati” kebesaran Usmar Ismail adalah Syumanjaya. Salah satu filmnya, “Yang Muda Yang Bercinta”, bagi saya sangat menarik dan cukup mampu membikin saya “ereksi” secara artistik . Tapi Syumanjaya (seperti Usmar Ismail), kita sama tahu, juga sudah lama tiada.

7 Sep 2011

Cangkir Penyair

Cangkir itu sebetulnya biasa saja, seperti cangkir-cangkir pada umumnya. Hanya ukurannya memang agak lebih besar dari cangkir biasa. Aku tak begitu paham mengapa ayah selalu menggunakan cangkir itu kalau mau menyeduh kopi, padahal ada beberapa cangkir lain. Ia melarang kami, anak-anaknya dan yang lainnya, menggunakan cangkir itu. Ini cangkir penyair, katanya beberapa kali mengulang pengumumannya. Yang bukan penyair tak minum dari cangkir ini, katanya pula, dengan nada bicara yang dibuat terdengar takzim.

Aku suka memperhatikan kalau ia sedang menyeduh kopi. Seingatku caranya juga biasa saja, tak ada ritualnya yang aneh-aneh. Ia menuangkan kopinya lebih dulu, satu atau dua sendok serbuk hitam itu dicampuri gula putih secukupnya, mengambil termos berisi air panas, menuangnya ke dalam cangkir keramat itu. Ia akan mengaduknya pelan-pelan, diam-diam, seperti sedang berdoa..Lalu ia akan membawa minuman itu ke kamarnya. Ia akan duduk nyantai selonjor di depan televisi, seraya pelan-pelan menyeruput kopinya, juga pelan-pelan, seperti tengah berpikir-pikir, atau apa begitu  Entahlah. Yang pasti  tampaknya sublim sekali segala perilakunya itu.

Kadang ia suka nyelutuk sendiri, enak racun ini. Atau, kalau sudah minum racun ini baru penyair bisa menulis. Memang kadang aku pergoki, sesudah selesai dengan ritual minum kopinya ayah mengambil buku notes yang suka dibawa-bawanya, lantas menulis-nulis sesuatu di sana. Kadang cukup lama ia melakukan itu, mencoret ini, mencoret yang lain, membolak-balik halaman baru notes itu. Kadang ia pindah duduk ke kursi di teras atas rumah kami yang sempit. Di situ memang lebih tenang suasananya. Ia lalu tampak seperti karam dalam kesuntukannya menulis itu.

Ia tak pernah memperlihatkan apa yang barusan ditulisnya. Aku pun tak begitu berminat untuk mengintipnya. Tulisan-tulisan di buku notes itu lebih berupa corat-coret yang hanya bisa dipahaminya sendiri, bahkan kadang ia pernah kudemgar mengomel tak bisa membaca apa yang sudah ditulisnya di sana. Lucu sekali melihatnya uring-uringan mencari sambungan yang terputus dalam catatan yang sudah ditulisnya.

2 Sep 2011

Bali, Kartu Pos Bergambar


(Inilah Bali
       Tempat Wayan
Lahir suatu hari
Dan menemu surya
Di lubuk samudra)

Hari ini kusalami
     Tanahmu yang liat
Kisahmu yang sarat
Ceraplah         
        Selaku sesembahan
Pelancong dari utara
Kuharap sepadan
Selayak tamu

Pada lekuk-liku sajak
Lama kuselami
       Gunung dan lautmu
Kurasa tapi
Baru sesudah
Genap langkahku
Menempuh Uluwatu
Kupahami akhirnya
Bahasa rindu

(Ya, inilah Bali
       Tempat Wayan
Mangkat suatu hari
Pulang mencapai moksa
Di batas lakon)

21 Agu 2011

Ular Gunung


Ada yang menamakan kami
Naga Lima Langkah
Sebab demikian pintar kami
                                  Meracik bisa
Seakan iblis sendiri
Menanamkannya pada
                      Taring waktu

Kemudian kami pun
Menunggu
                 Sabar dan tak terburu
Sampai hewan atau kalian tersekap
         Dalam ini perangkap
Sempurna kami tebar
Supaya kami sisakan kemudian
                               Lima tindak
Untuk kalian melangkah
Sebelum rebah juga akhirnya
                             Dekat pagar belakang

Kuulangi, jadi itulah
Mengapa
                Mereka sebut kami
Naga Lima Langkah

Semua itu taklah mengejutkan
Bisa kau temukan pada
Lembar resmi ensiklopedia
Persis pada halaman
Bab reptilia darat
                      Yang luput
              Tercatat di sana
Kami juga hidup aman
Melingkar samar
Dalam gelap belukar
Sanubari manusia
Seraya 
           Menebar ini bisa
           Merata pada
Garis silsilah kalian:
Para mahkluk jumawa
Turunan dewata?

11 Agu 2011

Tentang "Kata Pengantar"

Kata pengantar untuk sebuah buku puisi selalu menyimpan resiko untuk menjadi tidak seimbang, sepanjang ia ditulis oleh penulis buku itu sendiri. Ada dua kemungkinan yang bisa terjadi. Sang penyair mungkin akan tergoda untuk “membesar-besarkan” karyanya, atau bisa saja ia tergoda berbicara “melantur”, melebar ke soal-soal lain.

Yang paling sering terjadi, ia menjadi asyik membicarakan proses penciptaan karyanya. Meskipun ia tahu belaka bahwa sebuah proses penciptaan tidak selalu terhubung korelatif dengan kualitas karya yang dihasilkannya, toh ia tertarik juga memgobrolkannya. Maka tidak usah heran kalau kita suka menemukan “kata pengantar” yang ternyata lebih hebat ketimbang muatan puisi dalam bukunya itu sendiri.

Yang sebaliknya juga bisa terjadi. Sang penyair menjadi terlalu berhati-hati, mencoba berpose sekadarnya saja, mencoba mengirit gaya. Atau ia malah tergoda untuk “mengecilkan” arti karya-karyanya sendiri. Mungkin itu lebih baik ketimbang kalau ia menjadi besar kepala dan kemudian membikin kita mengelus dada dengan pose-posenya yang menjengkelkan. Tapi jika ia malu-malu untuk bergaya begitu, mengapa harus ia memaksakan diri membuat juga “kata pengantar” untuk bukunya itu?

Mengapa tidak membiarkan saja buku itu tanpa kata pengantar? Penyair Taufiq Ismail suka menyebut puisi-puisinya sebagai “anak-anak”nya sendiri. Maka biarlah sajak-sajak yang sudah selesai kita tulis itu, “anak-anak” kita itu, mencoba membela diri dan (kalau mungkin) memberikan perlawanan sendiri sebisa-bisanya. Saya selalu percaya, jika ia, sajak-sajak itu, telah menjadi “matang” dewasa, insyallah, tak akan gampang-gampang ia dijatuhkan.

6 Agu 2011

Kangen

Sore ini saya mengantar ayah ke dokter. Sebetulnya ayah sudah meninggal lebih tiga puluh tahun yang lalu, pada suatu Ahad pagi yang sedikit berhujan. Meninggal dengan damai di kamarnya agak sempit tapi nyaman. Kami berlima ketika itu menungguinya dengan sabar sepanjang malam. Saat fajar datang, tanda-tanda pun lengkap, ibu memekik pelan, menyongsongnya.

Begitulah, sore ini ayah meminta saya mengantarnya ke dokter. Ia mengaku agak kurang enak badan. Saya tak sampai hati menolaknya, jadi kami pun bertolak dengan taksi warna biru. Ruang tunggu dokter sudah hampir penuh oleh aroma orang-orang mati, yang anehnya berwajah cerah gembira. Mereka ternyata juga sudah saling kenal lama, maka riuhlah kamar tunggu yang sempit itu. Ayah mengenalkan beberapa kepadaku. Mereka menjabat saya erat, dan ada yang tak sabaran menanyakan warta dunia hari ini. Mereka berkata bahwa mereka sendiri baik-baik adanya, hanya kadang kangen.

Saya menemani ayah menemui dokter. Saya masih ingat tiga puluh tahun yang lalu lelaki yang gemar berseloroh sembarang waktu itulah yang berkata, “Ayahmu  tak  akan  lama  lagi, jadi  berkemaslah.” Kini dua orang itu berjumpa pula. Dokter itu, yang sekarang terlihat begitu renta, anehnya malah terlihat sibuk memeriksa tubuhnya sendiri. Ia, misalnya, memeriksa tekanan darahnya, menimbang berat badan, dan terakhir sekali mencoba mencocokkan denyut jantung dengan debar-debur rindunya.

Nah, ia pun manggut-manggut, nampaknya puas belaka. Lantas dengan masih tertawa-tawa seperti dulu hari mendadak saja ia berpaling kepada saya dan berkata, sarat dengan tawa, “Saya tak akan lama lagi, jadi tinggalkanlah kami.” Saya terpana, tapi kemudian pergi juga dengan semacam perasaan lega yang aneh, meninggalkan mereka berdua berbahagia pada akhir tulisan ini. Saya langsung bertolak pulang ke dunia saya yang nyata dengan menumpang taksi berwarna biru. Di sepanjang jalan saya masih terus juga berpikir-pikir, mungkin betul di sorga ayah baik-baik saja, hanya kadang kangen.

2010

23 Jul 2011

Sukawati

Kita ke Sukawati
Seru berburu cenderamata
Supaya
             Laut
             Ombak
             Pantai 
Bersama nasi campur
Dan Ayam Betutu
Awet tersimpan
Dalam kenangan
Waktu 

Nanti sesudah pulang
Setiap kali terjaga
Subuh hari sebelum
Berkemas kerja
Semoga masih ada
Sisa-sisa ombak dan laut
Berdebur di pojok
Kamar
           Masih ada Wayan
Menunggu di teras hotel
Dengan sesobek karcis
Masuk gerbang Uluwatu

Jadi kita ke pura dulu
              Setiap pagi
Menyalami sahabat kera
Menyerahkan sukma keramat
Selaku sajen sebelum       
Bunuh diri beramai
Terjun ke
                Jalan-jalan
                Ibu negeri

Ringan dan meriah
Seperti lelucon di Joger

18 Jul 2011

Hotel

Inilah liang sembunyi
Yang lama kita
Buru dan impikan
Dalam kembara waktu
Di jalan-jalan dunia
Yang durhaka
       Kita bisa sebentar
Istirah melupakan nama
Dan asal-usul
Bumi yang ruwet
Mungkin seraya
Melepas kutuk
       Ke seberang ufuk
Yang sepanjang musim
Mendera kita dengan
Warna-warni
Semu

        Jika jemu bercumbu
Bukalah jendela
Itu sedikit olehmu
Di kebun yang teduh
Saksikan hari berlabuh
Serupa kapal Nuh
Melepas sauh
Menurunkan muatannya
       Kau dan aku
Di pinggir kolam
Dangkal yang airnya
Mengalir kembali
Ke sumber

Dengan 50 dolar semalam
(Sudah termasuk
Pajak dan sarapan)
Kita dapatkan akhirnya
Surga kecil
Ini
     Tapi sebelum mulai
Tanggalkan dulu seragam
Buruk yang menodai
Luka-lukamu itu

15 Jul 2011

Tanah Lot

Kata dongeng
(Yang separuh kami percaya)
Ular suci ini jelmaan
Gaib selempang  padri saleh
Pengawal dewa laut

Sungguh
Ia tak serupa
Ular beludak yang
Pernah berkunjung
Dalam impian
Malam kami
Ia tak membujuk
Atau menawari kami
Bebuah manis
Penuh bisa
Ia hanya diam
             Mendekam 
       Mungkin jemu
Menonton kami
Orang-orang kasar
Dari kota-kota kasar
Mendatanginya
Menatapnya
                Sedikit
                Hambar

                          Tapi
Kata dongeng
(Yang separuhnya kami setujui)
Ditaruh ular itu di sana
Memanglah guna menjaga kita
     Manusia
         Turunan kasar
Dewa-dewa kahyangan

11 Jul 2011

Kintamani

Kami tiba
Lewat tengah hari
Di Kintamani
Seperti dalam
Skedul perjalanan
Yang dirancang
Sejak mula
Cuaca
          Sungguh bagus

          Danau     biru
          Gunung   biru
Tersaji  
           Utuh

(Adakah bijak
Menambahkan sesuatu
Pada ini lanskap
Kelewat sempurna?)

Pemandu kami
Menunjuk jauh
Ke seberang danau
      Nun di sana
      Orang-orang Trunyan
Bertahan dalam kemurnian
Alam dan samadi

Semua ada
Seperti rencana

           Danau     biru
           Gunung   biru
           Matahari  tembaga

(Tapi, jika cuaca berkabut
Katamu kepada pemandu
Sunyi akan terlebih lengkap)

Di Kintamani

7 Jul 2011

Kuta

Kuta punya hati
Saya punya rindu
Pada suatu hari Selasa
Ketika surya tembaga
Kami pun bertemu
Dalam kebisuan
Bahasa ufuk

Kami biarkan
Laut memuntahkan
Ombak-ombaknya
Melukis pantai
Dengan debur
Dengan desir
Yang lama hilang

Kami adalah
Sepasang kembaran
Lama terpaut
Jarak dan maut
Tapi pada suatu Selasa
Ketika rindu tembaga
Kami pun berjumpa

Kami pasrahkan
Langit merendah
Dan laut yang pemurah
Tumpah ruah
Dalam bahasa sunyi
Sajak-sajak rahasia
Antara kami

6 Jul 2011

Tanjung Benoa

Di  Tanjung Benoa
Di perairan
           Yang jinak arusnya
Untuk pertama kali
Dalam hidupnya
Ia naik perahu motor
Mengarungi biru lautan
Dalam kenyataan

Ombak nakal
Yang agaknya mengerti
Menggodanya dengan
Hempasan lunak pada
            Ringkih tubuh perahu
Itu pun sudah cukup
Membuatnya ngeri
Dan teramat paham apa
Artinya karam

Di Tanjung Benoa
Di perairan
            Yang jinak ombaknya
Untuk pertama kali
Dalam hidupnya yang datar
Penyair itu menyewa perahu
Mengarungi biru samudra
Bukan dalam sajak

5 Jul 2011

Uluwatu

                    Di Uluwatu
Saya bertanya pada kera
Yang menjaga pura

Saya bertanya
Pada kera
Adakah ia bahagia
Atau saya salah menduga?

Tapi kera
Kera di Uluwatu
Tak menyahut sapaanku
Maka saya pergi
Lalu berhenti pada
        Undakan
               Waktu
                    Paling
                        Tinggi
Menyalami gerbang pura
Keramat yang terlarang
Bagi pendatang
Asing semacam saya
Yang masih juga
Dungu bertanya
           Asal-usul bahagia

Kepada seekor kera
Di Uluwatu

16 Jun 2011

Kepada Jessy Gusman

SUATU ketika di tahun 1980-an, Jessy Gusman—yang kala itu masih seorang artis remaja papan atas nan cantik molek—mengatakan kepada seorang wartawan bahwa ia masih menyimpan sebuah keinginan terpendam yang sampai saat itu belum sempat dikecapnya. Anda tahu apa “keinginan terpendam” yang dimaksudnya? Ini: Berjejalan naik bus kota di Jakarta.

Kemiskinan dan “hidup susah” memang bisa saja terlihat eksotis dan “indah” jika kita berkesempatan mengamatinya dari jarak yang cukup jauh dan aman. Artinya jika kita berada dalam posisi hanya sebagai “penonton”--atau mimimal sekadar “saksi”—dan bukan pelaku, atau lebih tepat “korban”, dari lelakon hidup susah itu.

Begitu juga dengan pengalaman berjejalan dalam bus kota. Apa nikmatnya coba naik bus kota berdesakkan begitu: gerah, panas, bau, lengket. Setiap hari saya pulang pergi ke kantor dengan bus kota, dan saya tahu betul betapa tak nyamannya kondisi angkutan umum yang satu ini. Bus  transjakarta yang dijagokan itu juga mirip keadannya. Bukan hanya tak nyaman, pun tiada aman. Saya pernah dua kali digebuki copet—gara-gara mau meniru Bruce Lee hehe--sampai hampir terlempar dari pintunya.

Maka jika si cantik Jessy Gusman dulu pernah berangan-angan kepengin merasakan pengalaman “berdesakkan dalam bus kota”, itu tentu harus dipahami sebagai keinginan seorang kaya dan mapan yang sekadar haus pengalaman yang sedikit beda. Katakanlah itu semacam ovonturisme kecil-kecilan, yang tentu saja aman dan tak beresiko sama sekali. Karena sang artis masih berada dalam zona amannya sendiri, nun di atas sana.

Baca juga: Pikiran dalam Bus Berjejal 

15 Jun 2011

Pikiran dalam Bus Berjejal

: Jessy Gusman

Hidup mungkin seperti bus kota ini
Orang-orang berdiri berimpitan
Begitu dekat tapi luput kaupahami
Siapa namanya, di mana turun nanti

Kalau beruntung kau dapat duduk
Dekat jendela, itu bisa berarti segalanya
Dalam ini bus berjejal, di mana tak sesiapa
Boleh sembarang diajak bicara

Duduk atau berdirilah diam
Di tempatmu kini, meski tak nyaman
Belajarlah bersabar, pertama kepada
Dirimu sendiri, kedua, penumpang

Mungkin usilan di sebelahmu itu
Belajarlah tabah, seperti bus kota ini
Sendiri, merayap pelan mejelajah sepi
Menembus belantara luka Jakarta

Mungkin, mungkin hidup
Seperti bus kota ini, kita di dalamnya
Terperangkap, sesama penumpang
Nasib yang tak kunjung lapang

14 Jun 2011

Ruang Rapat

Mereka para pemain
Sirkus yang mahir
Hanya orang-orang seperti
Mereka boleh ada
Dalam kamar rahasia
Itu membincangkan seru
Hal-hal yang muskil tampaknya

Lihat mereka selalu
Masih bisa terbahak
Meski tiada hal yang lucu
Samasekali, pun berpura duka
Berhadapan dengan kertas
Wajah mereka pun mengeras
Kita di luar mendengar saja
Sayup suara mereka
Mungkin sebuah kabar
Petaka lahir dari sana

Barangkali baru saja
Mereka ambil sebuah
Putusan genting seputar
Nasib orang di luar ruangan
Nasib kau dan aku juga
Tanpa bisa kita ikutan
Urun rembug sebab hanya
Mereka punya mandat
Membuka surat wasiat
Dalam itu kotak terkunci

Mereka para pemain
Sirkus yang mahir
Hanya orang-orang seperti
Mereka boleh ada
Dalam itu kamar, tersesat
Membincangkan seru sekali
Hal-hal gawat sepertinya

10 Jun 2011

Penyair, Di mana Berakhirnya Mata Sajakmu?

SEORANG penyair mungkin saja “berakhir”—maksudnya, berhenti menulis lagi puisi—karena sebab-sebab yang sederhana saja. Ia mungkin saja menjadi begitu repot dengan rutinitas hariannya, tak memiliki lagi “celah” waktu untuk sekadar duduk tenang dan menuliskan sesuatu di atas lembaran angannya. Dalam kenyataannya mungkin ini adalah penyebab paling umum yang biasa dijumpai. Rutinitas yang padat itu pada akhirnya menumpulkan naluri puitiknya, mematikan hasrat-hasratnya pada kerja puitik, dan pada gilirannya bisa saja membunuh penghargaannya kepada puisi.

Berubahnya kondisi sosial ekonomis seorang penulis juga banyak andil pada kelangsungan karier menulisnya. Ada banyak contoh bisa disebut. Misalnya saja apa yang terjadi pada rombongan “sastrawan Bulungan” Jakarta. Bertahun-tahun yang lalu, sewaktu mereka masih “gelandangan”, banyak kalangan (termasuk saya) menduga kelak dari mereka bakal lahir sejumlah nama dan karya yang betul besar. Kini banyak dari mereka telah menjadi tajir dan makmur, menjalani hidup sebagai bos dan juragan, dan kita pun semakin jarang saja mendengar kiprah mereka di dunia sastra. Sebagian dari mereka ternyata masih berusaha bertahan, tapi yang kita dapatkan hanyalah percik-percik buih kecil, bukan lagi hempasan-hempasan gelombang besar di pantai.

Apakah ada sebab yang lain? Pasti ada. Seorang penyair bisa saja merasakan kejemuan dan ketidakpuasan pada puisi-puisinya sendiri, merasa bahwa ia ternyata, dengan kehadiran karyanya, hanya “mengotori” khazanah sastra negerinya. Maka ia pun akhirnya, dengan semacam “kesadaran” dan rasa tanggung jawab yang “luhur”, memutuskan “lengser” dari panggung. Atau minimal ia lantas berpikir untuk “menepi sejenak”: menghitung ulang kembali segala sesuatunya, sebelum memutuskan apa bakal terus, atau berbelok segera di pengkolan pertama yang ditemuinya.

Seorang penyair bisa saja memutuskan berhenti menyair karena merasa “target” yang dipasangnya sudah “selesai”. Target? Saya percaya, setiap penulis dari level apa pun, mempunyai target di kepalanya. Masalahnya, ada yang terobsesi pada target “artistik”, tapi ada juga yang kemudian terperosok pada target yang “ekonomis” melulu, atau bisa saja mereka mencoba belajar “mengawinkan” keduanya. Saya hanya ingin bilang, ini semua adalah hal yang biasa saja.

Di awal-awal 1980-an dulu, ada seorang penyair Yogya (?) yang jadi favorit saya. Menurut saya, puisinya tidak jelek, tapi puisi-puisinya hanya muncul di rubrik-rubrik koran mingguan (atau majalah remaja) yang sepertinya dipandang “kurang berwibawa”. Lalu saya sempat tahu juga, bahwa selain menulis puisi, ia pun kadang menulis “kritik”, dan isi “kritik”nya seingat saya selalu sama: menyerang (untuk tidak menyebut “menghujat”) nama sebuah majalah sastra kondang saat itu. Waktu berlalu, dan suatu ketika saya melihat dua potong sajaknya nongol di majalah kondang itu. Ajaib bin aneh, sesudah pemuatan itu, puisi-puisinya—yang menurut saya tidak jelek—dan juga “kritik-kritik”nya—yang isinya melulu mengutuki majalah sastra kondang itu—tak pernah muncul lagi.

Saya pun kemudian memberanikan diri menarik kesimpulan, oh ia rupanya telah merasa mencapai “target” yang dipatoknya, dan kemudian memutuskan “pensiun”.

Tak ada yang salah dengannya, itu masalah pilihan belaka. Penyair yang lain mungkin memasang target yang lebih “maju”. Misalnya, menargetkan “pensiun” setelah buku pertamanya bisa diterbitkan. Mungkin ada yang memasang target “hadiah sastra” sebagai ancang-ancang untuk “pamitan” dari dunia sastra. Program penulisan kreatif dari sebuah universitas kondang di negeri “kulon” sana sering juga disalah-kaprahi sebagai “ukuran” (atau “dalih”) untuk berhenti menulis.

Maka tak usah heran kalau ada penulis yang sepulang dari sana alih-alih tambah kreatif, malah ia kapiran tenggelam tak kedengaran lagi bunyinya. Mungkin program penulisan kreatif itu diperlakukannya sebagai “hadiah piknik perpisahan” atas jerih-payahnya sesudah berpeluh dan “berdarah-darah” di dunia sastra untuk sejumlah tahun?

7 Jun 2011

Jin

Ada jin ngendon
Dalam rapuh tubuh saya
Sebaiknya tak menanyakan
Sebab ia tak bernama
Tak punya wajah
Pun tanpa silsilah
Tapi membayang pada
Setiap langkah kata
Yang saya goreskan
Tergesa pada helai waktu
Berguguran depan pintu
Tak perlu judul
Guna mengenalnya
Tak guna tatabahasa
Sebab ia bertindak
Di luar hukum-hukum
Tuturan yang biasa
Sebaiknya jangan bertanya
Pada saya bila ia mulai
Saya pun tak paham
Mengapa dipilihnya
Ini tubuh rongsok
Lama membusuk
Tempatnya melongok
Rahasia purba teronggok
Di mana bermula
Bunda bahasa

6 Jun 2011

Hari Terakhir Seorang Teroris Suatu Siang

        : Dulmatin

Di sebuah warnet yang sepi
Kurancang wajah sebuah negeri
Sebuah negeri yang terbikin dari api
Para penguasanya bersuara benci

Di jalan-jalannya yang tegang
Mondar-mandir polisi menghadang
Mengontrol isi batok kepala warganya
Cemas nyelip di sana begundal amerika

Negeri yang seperti mimpi itu
Memang pernah ada ditulis dulu
Kini di sebuah warnet yang sepi
Aku duduk merancangnya sekali lagi

2010-2011

3 Jun 2011

Dibanding Sajakmu

Dibanding sajakmu
Baris-baris yang kutulis
Kelihatan kurus-kurus
Kurang gizi dan penyakitan

Dibanding sajakmu
Kata-kata yang kupilih
Jadi terasa sangat biasa
Lembek dan tak bertenaga

Bagaimana baris-barisku
Bisa bertahan di jalanan bahasa
Tidak gampang menyerah
Begitu saja dikutuk waktu?

Kata-kataku yang biasa
Yang nyalanya suram meredup
Bagaimana bisa kiranya bersaing
Dalam khazanah yang bising ini?

Di jalan raya dunia yang culas
Sajakku yang kurus sakitan
Judulku yang gagap bertanya:
Betulkah semudah itu saya binasa?

1 Jun 2011

Islam Koq "Serem"?

SUDAH lama saya diusik tanya itu. Kenapa Islam kok kesannya serem ya? Gampang marah, cepat main ancam, main boikot dan banyak lagi perilaku garang lainnya. Sedikit-sedikit main serbu, merusak ini itu, dan lain sebagainya. Saya datang dari latar belakang bukan muslim, jadi maaf kalau saya tak begitu paham dengan semua fenomena itu.

Saya suka bertanya, apakah memang Islam sejatinya mengajar untuk cepat marah dan main hantam begitu, atau ini masalah tafsir belaka? Saya sering berusaha meyakin-yakinkan diri bahwa ini hanya soal tafsir barangkali. Saya katakan kepada diri saya, Islam yang sejati pastilah berwajah sejuk, meski bukan berarti lembek dan mandah saja diperlakukan berat sebelah.

Saya suka pada figur damai dan moderat seperti Gus Dur (alm), Nurcholis Majid (alm), Emha Ainun Najib, Ulil Abshar Abdalla, dan beberapa lainnya. Adakah mereka representasi yang paling mewakili Islam? Oh pasti banyak yang tidak setuju dengan pikiran itu. Bukankah pada masanya dulu almarhum Nurcholis Majid dianggap “murtad” karena gagasan sekularisasinya?

Ulil Abshar Abdalla malah pernah ditafwa mati oleh sejumlah ulama Islam di sini, karena pikiran dan omongan-omongannya dianggap ngawur dan menyesatkan. Emha? Ia pun saya kira bukan tokoh yang disukai oleh banyak ulama karena pikiran-pikirannya yang cenderung “nyeniman”. Lalu almarhum Gus Dur. Ah kita sudah tahu ia banyak “mengoleksi” musuh justru dari kelompok muslim, dan malah meraih simpati dari yang non muslim.

Di luar nama-nama yang dituduh “liberal” itu kita menemukan barisan muslim yang lain. Sebagian dari mereka menduduki posisi-posisi penting dalam organisasi Islam yang “menentukan” di sini. Mereka, dengan atau minus sorban Arabnya, umumnya berwajah “tunggal” : mematok harga mati untuk banyak hal.

Kadang saya mendapat kesan kelompok “keras” ini menampilkan wajah yang mendua. Misalnya, mereka suka mengeluarkan imbauan agar umat tidak “terpancing”, atau membela diri bahwa Islam menolak kekerasan, tapi mereka cenderung membiarkan kalau kekerasan itu kemudian sungguh terjadi. Setahu saya, MUI umpamanya, tidak pernah mengeluarkan semacam teguran (apalagi dampratan) kepada aksi-aksi anarkis sepihak yang kerap dipamerkan oleh kelompok Front Pembela Islam.

Ini membingungkan saya. Sebetulnya mereka (MUI) setuju atau tidak pada anarkisme jalanan ala FPI itu? Saya, sekali lagi, tidak datang dari latar belakang muslim—meski beberapa teman karib saya adalah muslim semuslimnya—jadi maaf, apabila saya tak kunjung paham dengan fenomena ini. Adakah yang bersedia membantu menjelaskan?

Baca juga: Teroris "Islam", Siapa Pendukungnya?

30 Mei 2011

Tentang Menulis Sajak

Dalam sajakku
Rima hampir kuanggap
Kejahatan, begitu
Pernah kubaca
Sesumbar si urakan
Bertolt Brecht
Penyair Jerman
Lama mukim tapi
Di Los Angeles
Sedang soal paham politiknya
Setahuku ia teramat Kiri

Lain lagi petuah
Taufiq Gafar Ismail
Penyair dokter hewan
Di Bogor sekolahnya pernah
Tentang menulis sajak sonder rima
Katanya, samalah itu dengan bermain 
Tenis tanpa tali net pembatas
Di mana seru-asyiknya?

Adapun bagiku sendiri
Si penyair payah
(Rendah saja sekolahnya)
Menulis sajak macam
Bermain sepakbola kuanggap

Tak penting benar
Gaya apa musti kupakai:
Total Footbal asli Belanda
Tari gila Samba Brasilia
Grendel Mati Italia

Atau bagaimana bakal
Kurancang komposisi barisnya:
Empat tiga tiga acak
Atau empat empat dua
Rapi
        Berjajar
        Ke bawah

Tak soal sepanjang
Bisa kusarangkan mantap
Si bulat maha kata
Ke dalam itu sempit
Jejaring gawang
Sang takdir

27 Mei 2011

Di Warung Sate Cak Dar

Saya memesan sepuluh tusuk sepi
Disertai pesan wanti-wanti, jangan dicampur
Dengan yang bukan sepi, dan satu pesan penting
Lagi, bakarlah yang matang, kata saya

Bakar yang matang, jangan setengah-setengah
Biar masak sepinya, sampai mengaduh sakitnya
Sampai gosong lukanya, sedap sungguh nanti terkecap
Di ujung lidah, di antara pedas sambal waktu

2009-2010

26 Mei 2011

In Memoriam: "Celana"

Penyair Joko Pinurbo--akrab dengan sapaan Jokpin—menyampaikan niatnya untuk mencopot “celana” yang selama ini sudah menjadi “merek dagangnya”. Antologi puisi Kepada Cium (Penerbit:  Gramedia, 2008) disebutnya sebagai edisi pamungkas dari episode “celana” itu.

Bagi saya ini sebuah kabar “besar” sekaligus menggembirakan. Dalam sebuah catatan   saya memberi garis bawah khusus perihal perlunya Jokpin keluar dari “zona amannya” guna menjelajah dan menemukan zona kreatif baru. Kalau tidak cepat atau lambat ia hanya akan tinggal kenangan.

Celana dan Jokpin memang sebuah fenomena menarik. Imaji “celana” di satu sisi dan nama Jokpin di pihak lain seperti tak bisa dipisahkan. Seperti imaji “hujan” serta merta mengingatkan kita pada penyair Sapardi Djoko Damono, atau “kapak” membawa kita pada sosok Sutardji Calzoum Bachri, begitulah halnya “celana” dan Jokpin.

Jokpin sudah  berhasil mengangkat pamor “celana”, dari sebuah substansi yang fisikal dan remeh menjadi substansi lain yang rohaniah dan malahan sering juga filosofis. Sebaliknya “celana” telah pula mengganjar Jokpin dengan banyak penghargaan sastra bergengsi : SIH Award, KLA, untuk sekedar menyebut contoh. Sebuah kisah kasih yang indah.

Tapi untuk kepentingan yang lebih besar, kisah indah itu musti diakhiri sekarang. Siapa tahu dengan menanggalkan “celana” Jokpin malah akan membawa kita ke alamat-alamat baru, addres-addres rahasia yang lebih heboh lagi. Bagi Jokpin memang hanya tersedia 2 pilihan itu : tinggal tentram dalam “celana”—seraya mungkin mati pelan-pelan—atau mencopot itu “celana”, dan “tanpa celana” menempuh segala resiko yang menanti. Ah, celana …

25 Mei 2011

Saya Hanya Sebuah Kursi Plastik

Saya hanya sebuah kursi plastik
Di ini kantin teramat bersahaja
Sebentar dipindah saya ke pojok
Sekejap digeser pula saya ke belakang

Saya hanya sebuah kursi plastik
Hak apa saya punya guna menggugat
Keberadaan saya remeh tak berarti
Ganti berganti orang datang menduduki

Yang satu ini datang saban siang
Ia tak hendak apa, hanya natap duka
Piring makannya melulu hampa
Campuran kuah waktu dan butir hujan

Banyak lainnya kukenal hanya rupa
Sisanya pendatang baru sepertinya
Duduk di ruang ini untuk sebentar
Ada yang diam alim lainnya kasar terburu

Banyaklah bisa kutonton di sini
Serba kejadian dan cerita meminjam
Ini tempat sebagai latar lakonnya
Tema apa bisalah kuterka sembarang

Tapi saya hanya sebuah kursi
Sebuah kursi plastik di kantin ini
Hak tak ada pada saya sekadar bertanya
Ini kejadian edan ada-ada saja

2010-2011

24 Mei 2011

Kursi Kapel

Aku numpang duduk, kursi
Aku ke sini bukan mau berdoa
Maaf, kursi, aku sedang bosan
Ijinkan aku di sini untuk sebentar
Ijinkan mataku yang jemu
Mengintip mungkin sesuatu
Mungkin perempuan di sebelah
Bisakah ia menatapkan tak curiga begitu--
Mungkin sebab aku betul mirip bajingan
Atau pacar gelap yang rajin menidurinya
Memberinya kenikmatan semu itu?
Ah, sudahlah, ini sebuah kapel
Tidak bisakah aku berpikir
Sedikit lebih beradab?
Ya, ya lelaki pandir
Yang sok berlagak mahir
Bermain-main dengan tafsir
Padahal waktu terus juga bergulir
Dan di sini aku berjanji sekadar hadir
Manis dan sopan mendengarkan
Kabar dari sorga disampaikan
Lewat bahasa yang mengapa
Terasa padaku sedikit memaksa
Dengan kosa-kata yang tidak bisakah
Disusun sedikit lebih seksama
Supaya sampai pada sahaya
Sebagai tawaran sungguh
Bernuansa penuh harga?
Ah, tapi bukankah aku sudah
Berjanji numpang duduk hanya
Untuk sebentar di ini ruang ibadah
Mungkin selaku tamu tanpa
Keberatan apa pun kecuali
Itu lelaki gondrong berjubah 
Putih dengan misainya menjuntai
Mengapa ia padaku terus jua
Lekat menatap tak putus?

2010-2011

23 Mei 2011

Anatomi Rumah

Ini ruang tamunya, tempat luka
Datang dan pergi. Sebelahnya
Ruang makan dan kamar anak-anak
Riuh rendah. Menatap teras terbayang

Hidup yang keras. Di loteng
Atas masih ada ruang lega
Buat berdua. Mau tapa atau
Sanggama merdeka. Paling pas tapi

Malam buta. Lantas dapur masih
Mengepul. Kamar penyimpan
Kitab, risalah ilmu dan ahlak
Rapi bersusun dalam rak. Persis

Di bawah tangga, gudang
Suram mendekam. Koran bekas
Kisah-kisah usang, masih sayang
Dibuang. Di pojok yang tak kentara

Mengintip kamar mandi  Di sinilah
Hidup disucikan, dosa dicuci serupa
Daki. Atau sebagai busuk tahi
Dibenam dalam jamban

2005-2011

20 Mei 2011

Seumpama Sajak

Seumpama sajak
Ia mungkin seperti kwatrin:
Ringkas dan bijak
Memendam ingin

Bermain dengan rima
Empat baris ke bawah
Sebelum menyudahinya gelisah
Dengan serupa tanda

Kau mungkin luput membacanya
Sebab teramat padat
Rahasia disimpannya rapat
Empat baris sebelum jeda

19 Mei 2011

Pada Suatu Hari Pemilihan Umum

Ia tak menemukan kesulitan samasekali
Menentukan siapa pemimpin yang harus dipilihnya
Ia sudah punya perhitungan dan alasan sendiri

Begitulah, dengan tenang dan penuh keyakinan
Ia mencontreng calon yang paling sepi, calon yang
Tak bernomor dan tak ada gambarnya di lembar pemilih

Juli 2009

18 Mei 2011

Sajak Mei

Sisa-sisa
Kepulan asapmu
Belum juga sirna, Mei

Kadang-kadang
Kobaran apinya
Membesar kembali

Menerangi borok
Dan ingatan
Yang saparoh rusak

Membangunkan
Lagi serdadu
Dan kawanan hantu

Dari dalam
Gedung-gedung
Gosong yang dijarah

Dari balik
Kelangkang basah
Sejarah yang diperkosa

Sisa-sisa
Kepulan asapmu, Mei
Belum usai juga

16 Mei 2011

Rendra, Atau yang "Berjihad" Lewat Kata

Aku mendengar suara
Jerit hewan terluka
Ada orang memanah rembulan
Ada burung kecil jatuh dari sarangnya

Orang-orang harus dibangunkan
Kesaksian harus diberikan
Agar kehidupan tetap terjaga

(Rendra, “Aku Mendengar Suara”)

Abubakar Baa’syir pernah berkoar bahwa “jihad” itu ada 3 macam. Pertama, jihad dengan senjata (hanya dibolehkan dalam kondisi konflik atau perang, katanya), kedua, jihad lewat dakwah, dan ketiga, jihad lewat harta. Mungkin masih bisa ditambah satu lagi, yaitu jihad lewat seni—atau ia mungkin bisa dianggap sebagai varian atau cabang dari “jihad lewat dakwah”? Untuk gampangnya, mari anggap sajalah begitu.

Dan bicara “jihad lewat seni” mungkin salah satu contoh terbaiknya bisa ditoleh pada sosok Rendra. Seluruh kiprah kesenian Rendra—tapi catatan ini membatasi diri pada seni puisi Rendra--adalah representasi dari pilihan jalan “seni untuk jihad” itu. Sudah sejak kumpulan sajak pertamanya, Balada Orang-orang Tercinta--yang ditulisnya pada masa-masa pubernya--penyair ini terusik untuk “selalu berjuang” membela mereka yang “tertindas”, mereka yang menjadi korban dari hidup yang “dikuasai para cukong”.

Tren “perjuangan” atau “jihad” itu terus berkelanjutan pada puisi-puisinya yang kemudian. Bahkan ketika ia menuliskan sajak-sajak dengan tema cinta pun, kita masih saja mendengar gugatan-gugatan kemarahan itu. Baca misalnya sajaknya “Joki Tobing untuk Widuri”.

Puncak penjelajahan “estetika jihad” Rendra berkulminasi pada sajak-sajak yang kemudian dikumpulkannya dalam buku Potret Pembangunan dalam Puisi--sebuah judul “tak lazim” dalam khazanah puisi kita, bukan?. (Sebetulnya masih ada sejumlah sajak lain pasca periode itu yang bersemangat sama, tapi secara kualitatif mutu sastranya berada di bawah periode “Pembangunan”).

Kemudian muncul perdebatan “sengit” di seputar nilai puitik dari sajak-sajak “perjuangan” itu Pihak yang skeptis menyebut sajak-sajak Rendra dari periode itu sebagai timbunan slogan belaka. Ada juga yang menyebutnya “sajak-sajak permukaan”, ah bahkan “sajak-sajak permulaan”. Penilaian paling moderat menyebut sajak-sajak itu berada di “perbatasan” antara “puisi dan slogan”. Omong kasarnya, sajak-sajak itu pas-pasan saja mutunya. Benarkah?

Adalah Prof Teeuw yang punya pembelaan bagus untuk pilihan estetika yang diusung Rendra. Ia menyebut, kurang lebih, untuk memotret masalah sosial tidak ada cara lebih baik kecuali dengan menampilkan kenyataan sosial itu sendiri apa adanya, dengan membiarkan kenyataan itu berbicara sendiri—tanpa polesan artistik berlebihan. Dan pilihan “cerdik” itulah yang dengan konsisten dan sadar sudah diambil Rendra.

Tapi masalahnya, bukankah terletak pada capaian hasil yang kemudian didapat? Gagasan atau kredo ajaib apa pun yang disembunyikan di balik proses penciptaan itu sendiri, bisa saja jadi tidak penting atau relevan lagi. Betul juga. Hanya saja, setelah berpuluh tahun lewat, dan sesudah sang “mujahid” kita mangkat pula, masih bernafsukah kita menarik ulang perdebatan “nyinyir” itu? Demi apa, seberapa perlu?

12 Mei 2011

Ags Arya Dipayana, “Juru Masak” yang Pergi

Ags Arya Dipayana tak saya kenal secara pribadi, tapi toh saya merasa mengenalnya “dekat” karena sejumlah puisinya. Terus terang saya sangat menyukai sajak-sajaknya dari periode belakangan yang banyak mengambil bahan dari dunia kuliner. Bagi saya puisi-puisi kulinernya itu bisalah dianggap terobosan yang berharga bagi khazanah puisi kita yang memang selama ini cenderung agak “seragam” dalam pilihan tema.

Saking kesengsemnya saya sampai tergerak menulis sebuah sajak tentang itu uintuknya. Sajak yang saya juduli “Sajak Juru Masak” itu dimuat Kompas beberapa pekan lalu. Sajak itu secara khusus pernah saya kirimkan pula kepada Ags Arya Dipayana lewat akun Facebooknya. Ia, ketika itu, mengomentari puisi ini sebagai “puisi sederhana yang bagus”, atau semacam itulah. Saya menduga bisa saja ia hanya sekedar berbasa-basi untuk membesarkan hati saya.

Jika terkaan itu benar, berarti ia memang seorang kawan yang baik, seorang yang rendah hati dan teramat peduli menjaga perasaan orang lain. Sayang, kawan sebaik itu telah mendahului kita kelewat lekas. Ags Arya Dipayana, penulis dan pegiat teater itu, meninggal dunia pada 1 Maret 2011, di Purwakarta, sekitar pukul 11 malam hari itu.

Saya ingin menerbitkan ulang “Sajak Juru Masak” sebagai semacam tanda kenangan saya kepadanya. Kebetulan edisi yang dimuat Kompas beberapa waktu lalu mengandung salah cetak, atau lebih tepat, salah letak. Sedangkan yang pernah diterbitkan lewat Facebook adalah edisi yang belum direvisi. Entah apa komentarnya tentang edisi yang telah direvisi ini. Saya tak sempat lagi menanyakannya.


Sajak Juru Masak

: Ags. Arya Dipayana

Ia tunjukkan bagaimana
Juru masak bijak bekerja
Dengan bahan seadanya tersedia di dapur
Sejumlah bumbu yang didapat dari penjual sayur
Yang kebetulan saja lewat

Ia buktikan tak ada
Yang samasekali kebetulan
Bumbu dan bahan diracik cermat
Agar tercipta rasa yang padu. Lezat
Atau nikmat di ujung kata
Bukanlah soal untung-untungan

Tapi ia tunjukkan juga
Campuran yang seksama
Dalam kari waktu yang telah mendidih
Dengan karut-marut rindu dendam
Yang telah cukup pula masam perihnya
Tak selamanya menghantar pada rasa yang dituju

Kadangkala bumbu dan bahan
Berselisih wajan atau takaran
Seperti nasib dan waktu
Merdeka menukar jalan dan kisahnya

Ah ya, ia ingatkan pula bahwa
Memang ada hal ihwal yang boleh saja
Ditambahkan atau dikurangi
Demi tercapai campuran yang pas. Utuh
Atau selaras dalam ungkapan
Memanglah juga soal permainan

2010

11 Mei 2011

Gus tf Menakar "Hantu Kata"

Gus tf Sakai, salah seorang juri Khatulistiwa Literary Award (KLA) tahun ini (2010), menjagokan Hantu Kata (Kiblat Buku Utama, Bandung) sebagai buku puisi yang “sangat layak” masuk dalam shortlist KLA 2010.

Di bawah ini adalah penilaian tertulisnya yang disampaikannya kepada Panitia penghadiahan sastra lokal yang—sejauh ini—berhadiah duit termahal itu:

Inilah buku puisi yang, dalam sejarah kesusateraan Indonesia, bakal menempati posisi unik, karena paling banyak membicarakan dirinya, yakni puisi itu sendiri. Bukan hanya puisi sebagai salah satu bentuk ekspresi (dengan media kata-kata) yang figuratif, bersimbol, dan karenanya selalu ambigu, tetapi juga pada kenyataan betapa gentingnya apa yang disebut komunikasi. Dan kegentingan ini, secara ajek, dan konsisten, juga menjadi tubuh puisi-puisi lain pada bagian kedua buku ini, bahwa dunia, seperti halnya komunikasi, adalah kesiapan untuk tak mendapatkan apa-apa, menemukan kosong, hampa, sia-sia.

Tapi, sebagaimana kemudian kita tahu, buku itu tidak termasuk dalam daftar 5 besar yang diumumkan Panitia. Dalam emailnya kepada saya, Gus tf mengaku “tak bisa percaya” empat juri lain (Afrizal Malna, Donny Gahral Adian, Eka Kurniawan, Ronny Agustinus) tidak memasukkan Hantu Kata dalam pilihan mereka.

Baca juga: Wawancara dengan Nirwan Dewanto

10 Mei 2011

"Hantu Kata", Kumpulan Puisi Ook Nugroho

Tak begitu mudah perjalanan yang musti ditempuh Hantu Kata guna merebut “hak” atas hari kelahirannya. Tapi kita tahu itu adalah hal yang biasa dialami hampir semua buku puisi di negeri ini, bukan? Dimusuhi penerbit, sepertinya, adalah bagian dari “takdir” yang musti dijalani puisi Indonesia. Jadi pengalaman Hantu Kata memang tidak luar biasa.

Pada awalnya kitab ini direncanakan berjudul Kotak Waktu, berisi 100 puisi, hasil seleksi dari periode penulisan 1980 sampai 2007. Sejumlah penerbit yang saya tawari menolak naskah ini. Mulanya, tentu saja saya “marah” pada penolakan beruntun itu. Lalu saya pun ngambek. Naskah itu saya “telantarkan” begitu saja, sampai setahun lebih.

Baru pada 2009 saya mulai menyentuhnya lagi, menyeleksi ulang materi Kotak Waktu. Banyak puisi yang kemudian saya coret, dan banyak juga puisi baru yang masuk menggantikan. Akhirnya terkumpul 89 puisi, dan judul naskahnya saya ganti menjadi Lelaki Kopi Puisi.

Naskah hasil revisi ini saya cobakan lagi ke penerbit, namun tetap tak ada yang menggubris. Hanya ada sebuah penerbit di Yogya menawari kerja sama:  mereka bersedia menerbitkan naskah itu dan menangani pemasaran bukunya tapi biaya produksi menjadi tanggungan saya. Biayanya sebetulnya tak mahal-mahal amat, tapi saya teramat “miskinnya” sehingga tawaran kerja sama itu pun terpaksa saya tampik.

Dalam keadaan seperti itulah saya teringat seorang konco lama, Soni Farid Maulana. Ia menyarankan saya mengirimkan naskah buku itu ke Ready Susanto. Beliau adalah redaktur penerbit Kiblat Buku Utama di Bandung, yang salah satu pemiliknya adalah sastawan kondang Ayip Rosidi.

Nasehat itu saya turuti, dan begitulah naskah itu akhirnya memang disetujui mereka untuk diterbitkan pada 2010. Puisi “Hantu Kata”, yang kemudian menjadi judul buku, baru masuk pada saat-saat akhir.

9 Mei 2011

Teroris "Islam", Siapa Pendukungnya?

Mengapa terorisme dengan bendera “Islam” di negeri ini susah ditumpas? Jawabannya, menurut saya sungguh sederhana: karena (ternyata) banyak yang diam-diam mendukungnya. Yang terlihat di permukaan memang  hanya ada sekelompok kecil umat Islam yang terang-terangan petantang-petenteng show of force, sebutlah kelompok “preman berjubah” yang dengan gagah berani menamakan diri Front Pembela Islam, atau kelompok pengacara yang juga dengan gagah perkasa menyebut diri Tim Pembela Muslim.

Ada pula lembaga seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang salah satu kesukaannya adalah menerbitkan “fatwa-fatwa aneh” yang tidak membantu membuat umat Islam di sini menjadi lebih “pinter” dan bersikap demokratis..

Sementara itu di bawah permukaan—sesungguhnya, kita bisa merasakannya--dukungan terselubung kepada kelompok penjahat berlabel agama ini tidaklah sedikit. Dukungan mereka, misalnya, terlihat dalam bentuk kesediaan mereka memberikan tempat ngumpet kepada teroris, atau dengan cara bersikap pura-pura tidak tahu keberadaan mereka. Cara-cara yang memang sederhana tapi efektif.

Lihat juga bagaimana emosionalnya respons yang diberikan sebagian umat Islam di sini sewaktu para penjahat seperti Imam Samudra cs dieksekusi mati. Mereka dengan terang-terangan (atau diam-diam) rupanya menganggap bajingan-bajingan itu sebagai martir agung, para “syuhada”, yang kematiannya pantas diratapi, bahkan kalau perlu dikeramatkan sekalian.

Ulil Abshar Abdalla, tokoh Islam Liberal lewat akun twiternya pernah bilang bahwa muslim yang gemar berperilaku “serem” seperti itu sebetulnya hanya “secuil” di negeri ini. Betulkah begitu? Terus terang saya mulai meragukan pendapatnya. Yang berani terang-terangan “tampil serem” memang secuil, tapi dukungan masif kepada perilaku yang “serem-serem” itu, saya yakin, tidak kecil, tidak hanya secuil. Saya kuatir malah banyak sekali.

(Saya ingin memberikan sebuah ilustrasi kecil sebagai penutup tulisan ini. Sewaktu gedung jangkung kembar WTC  rontok pada 11 September 10 tahun silam, seluruh pegawai di salah satu ruangan di gedung di mana saya bekerja secara sponton memberi aplaus berupa tepuk tangan riuh atas keberhasilan serangan para teroris itu. Mereka menonton peristiwa heboh itu lewat siaran televisi di ruangan mereka. Mereka, sebagian saya kenal dekat, adalah rekan-rekan muslim yang sehari-harinya selalu berperilaku alim, santun, dan taat pula ibadat shalat serta puasanya).

6 Mei 2011

Wawancara dengan Nirwan Dewanto (5-Selesai)

Sastra yang Normal

Pada banyak kesempatan anda kerap megingatkan perlunya kita berguru pada khazanah sastra dunia. Begitu burukkah pencapaian sastra kita? Dan menurut anda bagaimana kondisi perpuisian kita saat ini?

Sastra dunia bukanlah kumpulan karya sastra dari seluruh dunia, apalagi karya sastra dari luar negeri. Jika itu yang dinamakan sastra dunia, sudah pasti kita tak mampu mengenalnya, apalagi memanfaatkannya. Sastra dunia itu sebuah perspektif, yang bisa menerangi masalah kesastraan kita sendiri. Seperti halnya kita tak bisa melihat ekonomi nasional tanpa perspektif global. Buat saya, sastra dunia punya arti praktis. Pertama, kita, setiap penulis, memperhubungkan sejumlah karya yang melintasi batas kampung-kampung dan negeri-negeri, sesuai dengan kebutuhan sendiri, untuk memelihara sumber-sumber kreativitas. Kita memilih model-model yang paling masuk akal bagi mekarnya kreativitas kita sendiri. (Saya ingatkan sekali lagi, sastra dunia ini juga melingkupi sastra-sastra dari kampung sendiri atau kampung tetangga, tapi yang sudah dilihat lagi dengan
perspektif baru, perspektif global.) Kedua, dunia itu mengikis megalomania kita; artinya, jika kita berkarya, kita berpotensi sekadar menambahkan setitik debu polusi ke lautan karya cemerlang yang sudah dibuat manusia sepanjang sejarah. Jadi, perspektif dunia itu memberi kita kemampuan kritik-diri, sehingga kita tidak gampang terperangkap ke dalam model-model yang tidak hidup. Ketiga, kita menegakkan profesi di dunia modern. Semua profesi di dunia ini, sejak ilmuwan hingga juru masak, mengukur dan mengembangkan diri dengan standar disiplin transnasional. Kenapa kaum sastrawan harus mengistimewakan diri dengan ukuran yang ditetapkan di negerinya sendiri, sementara mereka sudah pula mengarungi internet? Keempat, bahasa, kesenian dan sastra-sastra kita mencapai bentuk terbaiknya ketika membuka diri terhadap arus-arus dunia, sebagaimana sudah terbukti dalam sejarah. Kenapa kita sekarang melihat sastra dunia sebagai ancaman terhadap sastra nasional?

Jadi, saya tidak mengatakan bahwa kita “perlu berguru kepada sastra dunia”. Sastra dunia itu sudah berada dalam diri kita. Mengingkarinya hanya akan mempertebal kemikiskinan dan keremajaan kita sendiri. Maaf, saya tidak menjawab dua pertanyaan anda yang lain. Atau sudah saya jawab dalam kesempatan sebelumnya. Sesungguhnya saya lelah berkomentar terhadap situasi kesastraan kita. Saya harus membuat pernyataan dalam bentuk lain. Pernyataan yang paling kongkret. Yaitu, Jantung Lebah Ratu

Ajang award sastra dengan hadiah besar, apakah efektif untuk memancing munculnya karya-karya besar?

Hadiah sastra (yang saya sempitkan di sini sebagai penghargaan untuk buku atau karya yang sudah terbit, bukan sayembara penulisan) sangat penting untuk menghargai dan menegakkan profesi sastra dan memeliharanya sebagai sumber kreativitas sosial. Di negeri-negeri yang normal kehidupan sastranya (sebutlah wilayah Asia saja—Korea Selatan, Cina Daratan, Jepang, India, misalnya), begitu banyak hadiah sastra yang bersungguh-sungguh, yang dijalankan oleh juri yang serius menilai. Menilai itu, bagi juri, tidak lain ketimbang mencari putusan terbaik, berkumpul, bertengkar, mempertanggung-jawabkan pilihan dan argumen masing-masing. Lalu, masing-masing penghadiahan itu juga bersaing satu sama lain, berebut tempat mana yang paling bergengsi dan berpengaruh. Sayang di negeri kita hal itu belum ada; yang ada hanyalah penghadiahan yang berpretensi “populis” atau “demokratis”; yang kita lihat hanyalah penjurian yang seperti tebak lotere, karena yang telanjur bernama juri itu tidak berkumpul, atau berkumpul sekadarnya, dan tidak beradu argumen. Hasilnya, yang menang bisa apa saja dan siapa saja. Jadi, tolonglah, jangan gunakan hiperbol seperti “karya-karya besar”.

Kita hanya perlu menegakkan kehidupan sastra yang normal-normal saja, yang sehat. Penghadiahan yang sudah ada perlu diperbaiki penjuriannya, namun lebih perlu lagi pengadaan aneka penghadiahan lain yang lebih rasional, lebih profesional. Anda jangan lupa, penghadiahan bagi kekaryaan profesi ini terjadi dalam bidang manapun di dunia modern ini—keilmuan, kesenian, keteknikan, dan seterusnya.

Terakhir, tidak tertarik bikin blog?

Saya perlu menyiarkan pendapat saya yang lebih spontan, yang sangat terikat kepada situasi, seperti wawancara ini misalnya. Saya juga perlu menuliskan penggalan riwayat saya, misalnya masa kanak saya, tamasya saya, aneka peristiwa kecil yang menggugah saya. Mungkin juga saya perlu menyiarkan sebagian karya yang tengah saya garap, work in progress, yang memerlukan semacam umpan balik dari lingkaran pembaca ideal saya. Semua itu tidaklah mungkin dimuat di media massa atau jurnal sastra manapun. Singkatnya, saya perlu membuat blog atau website sendiri. Mudah-mudahan terlaksana dalam waktu dekat.

Terakhir, Bung: rangkaian jawaban saya terhadap sejumlah pertanyaan anda sekarang barulah sebagian kecil dari apa yang bisa saya utarakan tentang puisi saya dan perpuisian pada umumnya. Tentu saya kepingin menuliskan apa-apa yang belum terkatakan itu, selangkah demi selangkah. Ah, jangan-jangan kalau saya bicara lebih banyak, orang akan membaca puisi saya melalui pernyataan saya atau biografi saya. Semoga tidak. Bagaimanapun, saya ucapkan terima kasih banyak atas “interogasi” Bung.