10 Jun 2011

Penyair, Di mana Berakhirnya Mata Sajakmu?

SEORANG penyair mungkin saja “berakhir”—maksudnya, berhenti menulis lagi puisi—karena sebab-sebab yang sederhana saja. Ia mungkin saja menjadi begitu repot dengan rutinitas hariannya, tak memiliki lagi “celah” waktu untuk sekadar duduk tenang dan menuliskan sesuatu di atas lembaran angannya. Dalam kenyataannya mungkin ini adalah penyebab paling umum yang biasa dijumpai. Rutinitas yang padat itu pada akhirnya menumpulkan naluri puitiknya, mematikan hasrat-hasratnya pada kerja puitik, dan pada gilirannya bisa saja membunuh penghargaannya kepada puisi.

Berubahnya kondisi sosial ekonomis seorang penulis juga banyak andil pada kelangsungan karier menulisnya. Ada banyak contoh bisa disebut. Misalnya saja apa yang terjadi pada rombongan “sastrawan Bulungan” Jakarta. Bertahun-tahun yang lalu, sewaktu mereka masih “gelandangan”, banyak kalangan (termasuk saya) menduga kelak dari mereka bakal lahir sejumlah nama dan karya yang betul besar. Kini banyak dari mereka telah menjadi tajir dan makmur, menjalani hidup sebagai bos dan juragan, dan kita pun semakin jarang saja mendengar kiprah mereka di dunia sastra. Sebagian dari mereka ternyata masih berusaha bertahan, tapi yang kita dapatkan hanyalah percik-percik buih kecil, bukan lagi hempasan-hempasan gelombang besar di pantai.

Apakah ada sebab yang lain? Pasti ada. Seorang penyair bisa saja merasakan kejemuan dan ketidakpuasan pada puisi-puisinya sendiri, merasa bahwa ia ternyata, dengan kehadiran karyanya, hanya “mengotori” khazanah sastra negerinya. Maka ia pun akhirnya, dengan semacam “kesadaran” dan rasa tanggung jawab yang “luhur”, memutuskan “lengser” dari panggung. Atau minimal ia lantas berpikir untuk “menepi sejenak”: menghitung ulang kembali segala sesuatunya, sebelum memutuskan apa bakal terus, atau berbelok segera di pengkolan pertama yang ditemuinya.

Seorang penyair bisa saja memutuskan berhenti menyair karena merasa “target” yang dipasangnya sudah “selesai”. Target? Saya percaya, setiap penulis dari level apa pun, mempunyai target di kepalanya. Masalahnya, ada yang terobsesi pada target “artistik”, tapi ada juga yang kemudian terperosok pada target yang “ekonomis” melulu, atau bisa saja mereka mencoba belajar “mengawinkan” keduanya. Saya hanya ingin bilang, ini semua adalah hal yang biasa saja.

Di awal-awal 1980-an dulu, ada seorang penyair Yogya (?) yang jadi favorit saya. Menurut saya, puisinya tidak jelek, tapi puisi-puisinya hanya muncul di rubrik-rubrik koran mingguan (atau majalah remaja) yang sepertinya dipandang “kurang berwibawa”. Lalu saya sempat tahu juga, bahwa selain menulis puisi, ia pun kadang menulis “kritik”, dan isi “kritik”nya seingat saya selalu sama: menyerang (untuk tidak menyebut “menghujat”) nama sebuah majalah sastra kondang saat itu. Waktu berlalu, dan suatu ketika saya melihat dua potong sajaknya nongol di majalah kondang itu. Ajaib bin aneh, sesudah pemuatan itu, puisi-puisinya—yang menurut saya tidak jelek—dan juga “kritik-kritik”nya—yang isinya melulu mengutuki majalah sastra kondang itu—tak pernah muncul lagi.

Saya pun kemudian memberanikan diri menarik kesimpulan, oh ia rupanya telah merasa mencapai “target” yang dipatoknya, dan kemudian memutuskan “pensiun”.

Tak ada yang salah dengannya, itu masalah pilihan belaka. Penyair yang lain mungkin memasang target yang lebih “maju”. Misalnya, menargetkan “pensiun” setelah buku pertamanya bisa diterbitkan. Mungkin ada yang memasang target “hadiah sastra” sebagai ancang-ancang untuk “pamitan” dari dunia sastra. Program penulisan kreatif dari sebuah universitas kondang di negeri “kulon” sana sering juga disalah-kaprahi sebagai “ukuran” (atau “dalih”) untuk berhenti menulis.

Maka tak usah heran kalau ada penulis yang sepulang dari sana alih-alih tambah kreatif, malah ia kapiran tenggelam tak kedengaran lagi bunyinya. Mungkin program penulisan kreatif itu diperlakukannya sebagai “hadiah piknik perpisahan” atas jerih-payahnya sesudah berpeluh dan “berdarah-darah” di dunia sastra untuk sejumlah tahun?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar