11 Agu 2011

Tentang "Kata Pengantar"

Kata pengantar untuk sebuah buku puisi selalu menyimpan resiko untuk menjadi tidak seimbang, sepanjang ia ditulis oleh penulis buku itu sendiri. Ada dua kemungkinan yang bisa terjadi. Sang penyair mungkin akan tergoda untuk “membesar-besarkan” karyanya, atau bisa saja ia tergoda berbicara “melantur”, melebar ke soal-soal lain.

Yang paling sering terjadi, ia menjadi asyik membicarakan proses penciptaan karyanya. Meskipun ia tahu belaka bahwa sebuah proses penciptaan tidak selalu terhubung korelatif dengan kualitas karya yang dihasilkannya, toh ia tertarik juga memgobrolkannya. Maka tidak usah heran kalau kita suka menemukan “kata pengantar” yang ternyata lebih hebat ketimbang muatan puisi dalam bukunya itu sendiri.

Yang sebaliknya juga bisa terjadi. Sang penyair menjadi terlalu berhati-hati, mencoba berpose sekadarnya saja, mencoba mengirit gaya. Atau ia malah tergoda untuk “mengecilkan” arti karya-karyanya sendiri. Mungkin itu lebih baik ketimbang kalau ia menjadi besar kepala dan kemudian membikin kita mengelus dada dengan pose-posenya yang menjengkelkan. Tapi jika ia malu-malu untuk bergaya begitu, mengapa harus ia memaksakan diri membuat juga “kata pengantar” untuk bukunya itu?

Mengapa tidak membiarkan saja buku itu tanpa kata pengantar? Penyair Taufiq Ismail suka menyebut puisi-puisinya sebagai “anak-anak”nya sendiri. Maka biarlah sajak-sajak yang sudah selesai kita tulis itu, “anak-anak” kita itu, mencoba membela diri dan (kalau mungkin) memberikan perlawanan sendiri sebisa-bisanya. Saya selalu percaya, jika ia, sajak-sajak itu, telah menjadi “matang” dewasa, insyallah, tak akan gampang-gampang ia dijatuhkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar