9 Mei 2011

Teroris "Islam", Siapa Pendukungnya?

Mengapa terorisme dengan bendera “Islam” di negeri ini susah ditumpas? Jawabannya, menurut saya sungguh sederhana: karena (ternyata) banyak yang diam-diam mendukungnya. Yang terlihat di permukaan memang  hanya ada sekelompok kecil umat Islam yang terang-terangan petantang-petenteng show of force, sebutlah kelompok “preman berjubah” yang dengan gagah berani menamakan diri Front Pembela Islam, atau kelompok pengacara yang juga dengan gagah perkasa menyebut diri Tim Pembela Muslim.

Ada pula lembaga seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang salah satu kesukaannya adalah menerbitkan “fatwa-fatwa aneh” yang tidak membantu membuat umat Islam di sini menjadi lebih “pinter” dan bersikap demokratis..

Sementara itu di bawah permukaan—sesungguhnya, kita bisa merasakannya--dukungan terselubung kepada kelompok penjahat berlabel agama ini tidaklah sedikit. Dukungan mereka, misalnya, terlihat dalam bentuk kesediaan mereka memberikan tempat ngumpet kepada teroris, atau dengan cara bersikap pura-pura tidak tahu keberadaan mereka. Cara-cara yang memang sederhana tapi efektif.

Lihat juga bagaimana emosionalnya respons yang diberikan sebagian umat Islam di sini sewaktu para penjahat seperti Imam Samudra cs dieksekusi mati. Mereka dengan terang-terangan (atau diam-diam) rupanya menganggap bajingan-bajingan itu sebagai martir agung, para “syuhada”, yang kematiannya pantas diratapi, bahkan kalau perlu dikeramatkan sekalian.

Ulil Abshar Abdalla, tokoh Islam Liberal lewat akun twiternya pernah bilang bahwa muslim yang gemar berperilaku “serem” seperti itu sebetulnya hanya “secuil” di negeri ini. Betulkah begitu? Terus terang saya mulai meragukan pendapatnya. Yang berani terang-terangan “tampil serem” memang secuil, tapi dukungan masif kepada perilaku yang “serem-serem” itu, saya yakin, tidak kecil, tidak hanya secuil. Saya kuatir malah banyak sekali.

(Saya ingin memberikan sebuah ilustrasi kecil sebagai penutup tulisan ini. Sewaktu gedung jangkung kembar WTC  rontok pada 11 September 10 tahun silam, seluruh pegawai di salah satu ruangan di gedung di mana saya bekerja secara sponton memberi aplaus berupa tepuk tangan riuh atas keberhasilan serangan para teroris itu. Mereka menonton peristiwa heboh itu lewat siaran televisi di ruangan mereka. Mereka, sebagian saya kenal dekat, adalah rekan-rekan muslim yang sehari-harinya selalu berperilaku alim, santun, dan taat pula ibadat shalat serta puasanya).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar