26 Mei 2011

In Memoriam: "Celana"

Penyair Joko Pinurbo--akrab dengan sapaan Jokpin—menyampaikan niatnya untuk mencopot “celana” yang selama ini sudah menjadi “merek dagangnya”. Antologi puisi Kepada Cium (Penerbit:  Gramedia, 2008) disebutnya sebagai edisi pamungkas dari episode “celana” itu.

Bagi saya ini sebuah kabar “besar” sekaligus menggembirakan. Dalam sebuah catatan   saya memberi garis bawah khusus perihal perlunya Jokpin keluar dari “zona amannya” guna menjelajah dan menemukan zona kreatif baru. Kalau tidak cepat atau lambat ia hanya akan tinggal kenangan.

Celana dan Jokpin memang sebuah fenomena menarik. Imaji “celana” di satu sisi dan nama Jokpin di pihak lain seperti tak bisa dipisahkan. Seperti imaji “hujan” serta merta mengingatkan kita pada penyair Sapardi Djoko Damono, atau “kapak” membawa kita pada sosok Sutardji Calzoum Bachri, begitulah halnya “celana” dan Jokpin.

Jokpin sudah  berhasil mengangkat pamor “celana”, dari sebuah substansi yang fisikal dan remeh menjadi substansi lain yang rohaniah dan malahan sering juga filosofis. Sebaliknya “celana” telah pula mengganjar Jokpin dengan banyak penghargaan sastra bergengsi : SIH Award, KLA, untuk sekedar menyebut contoh. Sebuah kisah kasih yang indah.

Tapi untuk kepentingan yang lebih besar, kisah indah itu musti diakhiri sekarang. Siapa tahu dengan menanggalkan “celana” Jokpin malah akan membawa kita ke alamat-alamat baru, addres-addres rahasia yang lebih heboh lagi. Bagi Jokpin memang hanya tersedia 2 pilihan itu : tinggal tentram dalam “celana”—seraya mungkin mati pelan-pelan—atau mencopot itu “celana”, dan “tanpa celana” menempuh segala resiko yang menanti. Ah, celana …

Tidak ada komentar:

Posting Komentar