16 Mei 2011

Rendra, Atau yang "Berjihad" Lewat Kata

Aku mendengar suara
Jerit hewan terluka
Ada orang memanah rembulan
Ada burung kecil jatuh dari sarangnya

Orang-orang harus dibangunkan
Kesaksian harus diberikan
Agar kehidupan tetap terjaga

(Rendra, “Aku Mendengar Suara”)

Abubakar Baa’syir pernah berkoar bahwa “jihad” itu ada 3 macam. Pertama, jihad dengan senjata (hanya dibolehkan dalam kondisi konflik atau perang, katanya), kedua, jihad lewat dakwah, dan ketiga, jihad lewat harta. Mungkin masih bisa ditambah satu lagi, yaitu jihad lewat seni—atau ia mungkin bisa dianggap sebagai varian atau cabang dari “jihad lewat dakwah”? Untuk gampangnya, mari anggap sajalah begitu.

Dan bicara “jihad lewat seni” mungkin salah satu contoh terbaiknya bisa ditoleh pada sosok Rendra. Seluruh kiprah kesenian Rendra—tapi catatan ini membatasi diri pada seni puisi Rendra--adalah representasi dari pilihan jalan “seni untuk jihad” itu. Sudah sejak kumpulan sajak pertamanya, Balada Orang-orang Tercinta--yang ditulisnya pada masa-masa pubernya--penyair ini terusik untuk “selalu berjuang” membela mereka yang “tertindas”, mereka yang menjadi korban dari hidup yang “dikuasai para cukong”.

Tren “perjuangan” atau “jihad” itu terus berkelanjutan pada puisi-puisinya yang kemudian. Bahkan ketika ia menuliskan sajak-sajak dengan tema cinta pun, kita masih saja mendengar gugatan-gugatan kemarahan itu. Baca misalnya sajaknya “Joki Tobing untuk Widuri”.

Puncak penjelajahan “estetika jihad” Rendra berkulminasi pada sajak-sajak yang kemudian dikumpulkannya dalam buku Potret Pembangunan dalam Puisi--sebuah judul “tak lazim” dalam khazanah puisi kita, bukan?. (Sebetulnya masih ada sejumlah sajak lain pasca periode itu yang bersemangat sama, tapi secara kualitatif mutu sastranya berada di bawah periode “Pembangunan”).

Kemudian muncul perdebatan “sengit” di seputar nilai puitik dari sajak-sajak “perjuangan” itu Pihak yang skeptis menyebut sajak-sajak Rendra dari periode itu sebagai timbunan slogan belaka. Ada juga yang menyebutnya “sajak-sajak permukaan”, ah bahkan “sajak-sajak permulaan”. Penilaian paling moderat menyebut sajak-sajak itu berada di “perbatasan” antara “puisi dan slogan”. Omong kasarnya, sajak-sajak itu pas-pasan saja mutunya. Benarkah?

Adalah Prof Teeuw yang punya pembelaan bagus untuk pilihan estetika yang diusung Rendra. Ia menyebut, kurang lebih, untuk memotret masalah sosial tidak ada cara lebih baik kecuali dengan menampilkan kenyataan sosial itu sendiri apa adanya, dengan membiarkan kenyataan itu berbicara sendiri—tanpa polesan artistik berlebihan. Dan pilihan “cerdik” itulah yang dengan konsisten dan sadar sudah diambil Rendra.

Tapi masalahnya, bukankah terletak pada capaian hasil yang kemudian didapat? Gagasan atau kredo ajaib apa pun yang disembunyikan di balik proses penciptaan itu sendiri, bisa saja jadi tidak penting atau relevan lagi. Betul juga. Hanya saja, setelah berpuluh tahun lewat, dan sesudah sang “mujahid” kita mangkat pula, masih bernafsukah kita menarik ulang perdebatan “nyinyir” itu? Demi apa, seberapa perlu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar